x

Iklan

Fadly Abu Zayyan

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Rabu, 29 Mei 2024 21:49 WIB

Konflik di Laut China Selatan dan Ancaman Terhadap Kedaulatan Indonesia


Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Dalam satu dekade terakhir, terdapat dua Perjanjian Global yang telah mengubah wajah Geopolitik dan Geoekonomi yaitu Kesepakatan Iklim Paris 2015 dan Perjanjian Transparansi Global 2017. Inilah yang menjadi dasar pemikiran penulis bahwa dalam menganalisa fenomena geopolitik tidak lagi menggunakan dikotomi blok timur ataupun barat, mengingat dua perjanjian tersebut di atas justru telah berdampak pergeseran kiblat energi dan moneter global dari barat ke timur. Sementara yang menjadi tuan rumah digelarnya dua hajat global di atas, yaitu Perancis dan Jerman, selama ini dikenal sebagai negara blok barat. Lalu, bagaimana relevansinya dengan ancaman konflik di Laut China Selatan terhadap Kedaulatan Indonesia?

 

Kesepakatan Paris telah mengakhiri Rezim Fosil, dimana dalam satu abad ini, kebutuhan energi dunia selama ini bersumber dari minyak dan gas bumi yang dihasilkan oleh fosil. Sedangkan kesepakatan ini telah mewajibkan kepada para pemimpin global untuk menghasilkan energi hijau, tujuannya adalah untuk mengurangi emisi karbon sebagai pemicu climate change yang membuat temperatur bumi terus mengalami peningkatan signifikan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

Di sisi lain, banyak pula konflik yang terjadi di beberapa belahan bumi yang bermuara pada perebutan sumber daya (fosil) ini. Bisa kita lihat bagaimana kecamuk perang di negara-negara penghasil minyak bumi khususnya di Timur Tengah yang seakan tak berkesudahan. Sementara Perjanjian Transparansi telah menelanjangi aliran dana secara terbuka dalam skala global. Semangat awalnya adalah untuk mencegah penghindaran pajak dan praktek pencucian uang lintas negara. Namun begitu pada akhirnya, perjanjian ini juga menguak berbagai aliran dana pembiayaan konflik (perang), bahkan sampai pembiayaan gerakan terorisme dan radikalisme yang lagi-lagi bermuara pada perebutan sumber daya yang dibungkus agama. Terbukti sejak perjanjian ini berlaku, kelompok semacam ini rontok satu persatu.

 

Dari penjelasan di atas, kita bisa melihat bagaimana geopolitik dan geoekonomi ibarat dua sisi mata uang yang tak bisa dipisahkan dan sangat berpengaruh terhadap geostrategi sebuah negara, termasuk negara kita Republik Indonesia. Berakhirnya Rezim Fosil dan lahirnya Rezim Transparansi telah mengharuskan Indonesia menjadi bagian yang cukup dominan dalam hal ini. Bagaimana tidak, lahirnya Energi Lithium dimana salah satu bahan bakunya adalah nikel telah membuat Indonesia menjadi tuan rumah dalam agenda Revolusi Energi Global ini, mengingat negara kita adalah penghasil atau produsen mineral nikel terbesar di dunia.

 

Nah, salah satu cara yang cukup efektif untuk menghadang agenda Revolusi Energi tersebut, adalah dengan menciptakan konflik yang berdampak langsung kepada Indonesia termasuk dari sisi Kedaulatan, diantaranya adalah potensi konflik di Laut China Selatan. Lalu pertanyaannya, bagaimana pengaruhnya?

 

China adalah negara penghasil teknologi Batere untuk kebutuhan kendaraan listrik, sekaligus produsen mobil listrik terbesar di dunia. Sementara Indonesia adalah penghasil bahan bakunya. Kedua negara telah menghasilkan kesepakatan kerjasama alih teknologi yang menghasilkan kebijakan hilirisasi mineral di Indonesia. Maka dari itu, jika China terlibat konflik atau perang dengan suatu negara dimana saat ini hubungannya justru sedang memanas bukan dengan Indonesia melainkan Taiwan, maka hal ini akan berdampak kepada Indonesia.

 

Hipotesa di atas lahir dari kerangka berpikir adanya eksistensi Oligarki Global yang selama ini menjadikan begitu banyak negara sebagai inang. Itulah kenapa di bagian awal, penulis mengesampingkan dikotomi blok barat ataupun timur. Mereka (oligarki) selama ini telah menguasai sektor energi, keuangan, bahkan perang sebagai industri (bisnis). Semuanya bermuara kepada investor global seperti BlackRock, Vanguard dan berbagai perusahaan afiliasinya yang selalu terlibat pendanaan pada sektor tersebut di atas.

 

Maka dari itu, Indonesia sudah seharusnya tidak lagi bersikap netral atau yang selama ini dikenal dengan istilah Non Blok karena ancaman konflik di Laut China Selatan (LCS) akan berdampak terhadap Kedaulatan Indonesia, termasuk kedaulatan energi yang menjadi kebutuhan pokok sebuah negara. Apalagi Revolusi Energi (hijau) dan Keuangan telah menjadi agenda global bukan hanya tentang mengatasi climate change, tapi juga menciptakan perdamaian dunia sebagaimana amanat  Pembukaan UUD 1945. Kita harus berperan aktif (khususnya isu konflik LCS) karena Politik Luar Negeri adalah bagian dari kepentingan Dalam Negeri. Dan Internasionalme juga harus sinergi dengan Semangat Nasionalisme.

 

Fadly Abu Zayyan_Umum

Ikuti tulisan menarik Fadly Abu Zayyan lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Antumbra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Antumbra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu