x

Iklan

Arben Sumbung

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 2 Mei 2024

Rabu, 29 Mei 2024 21:37 WIB

Ancaman Militerisasi China di Laut China Selatan terhadap Kedaulatan Lingkungan Maritim dan Geopolitik Indonesia

Kedaulatan tidak hanya berbicara batas-batas wilayah negara saja tapi juga berhubungan dengan lingkungan dan sumber daya alam yang ada. Apa dampak rusaknya lingkungan maritim Natuna terhadap geopolitik Indonesia ?. Bagaimana pemerintah Indonesia menindaklanjuti aksi-aksi liar China di Laut China Selatan dan perairan Natuna ?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya


Apakah Kedaulatan Lingkungan Maritim masih Relevan ? 

 

Apa yang ada di benak anda ketika mendengar kata ‘kedaulatan Negara’ ?. Besar kemungkinan ketika kata tersebut muncul, fokus kita akan tertuju kepada kekuasaan tertinggi negara atas wilayah, batas negara, sampai dengan konflik-konflik kedaulatan dan perbatasan yang hari-hari ini terjadi di berbagai wilayah. Seperti konflik Rusia-Ukraina, India-Pakistan, dan yang paling panas tahun ini antara China-Taiwan dan beberapa negara di Asean akibat klaim 9-Dash China di Laut China Selatan (LCS) dan Natuna Timur.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Meskipun demikian, kedaulatan negara tidak terbatas atas kekuasaan tertinggi negara atas batas-batas wilayah secara spasial saja. Namun berhubungan juga dengan lingkungan bahkan hal ini sudah ditulis di UUD 1945, dimana “Kedaulatan lingkungan yang berarti kekuasaan atas suatu negara ada pada lingkungan hidup, atau alam sebagai jagat raya mendapat posisi dan kedudukan yang lebih tinggi dalam arti dalam setiap pengelolaan negara bahwa lingkungan hidup mendapat kedudukan yang tinggi”.

Max Hubber seorang pengacara terkenal yang menangani persengketaan pulau Palmas atau Miangas antara Amerika-Belanda lebih lanjut menyatakan bahwa “Kedaulatan Lingkungan sebuah Negara itu mencangkup wilayah teritorial (dominium) dan 'mengendalikan' ruang (imperium). Dengan kata lain, sebuah negara yang berdaulat berhak atas  wilayah teritorialnya termasuk menjaga  sumber daya alam dan lingkungan yang ada di dalamnya karena itulah atribut penting dari kedaulatan (Barral, Virgine 2016)

Bagaimana dengan kedaulatan lingkungan Maritim Indonesia di Natuna ?. Tanpa kita sadari kebijakan dan tindakan-tindakan preventif yang kita lakukan di Natuna hanya berfokus dalam pengendalian teritori dan batas-batas wilayah. Dilihat dari bagaimana kita memobilisasi nelayan-nelayan untuk ‘meramaikan’ perairan Natuna agar nelayan ilegal China tidak bisa masuk secara bebas sampai dengan meningkatkan patroli-patroli BAKAMLA. 

Semua tindakan preventif itu tidak salah namun jangan sampai kita melupakan untuk menjaga kedaulatan lingkungan di Natuna. Apakah pemerintah Indonesia sudah berpikir lebih jauh jika kegiatan militerisasi China di Laut China Selatan dan Natuna itu bisa berdampak buruk terhadap lingkungan perairan dan ekosistem di Natuna. Masalah-masalah seperti polusi air laut, rusaknya karang, overfishing. 

Ambil contoh, perang di Libya tahun 2011 ketika aktivitas militer seperti pengeboman dan serangan baik di darat dan laut  merusak habitat laut seperti kura-kura, ikan, lumba-lumba dan terumbu karang. Ditambah lagi dengan meningkatkannya  kadar karbon dioksida dan gas rumah kaca yang menyebabkan pengasaman laut, yang dapat berdampak buruk pada kemampuan spesies laut untuk bertahan hidup. Belum lagi, aktivitas militer dapat mengganggu penghidupan komunitas nelayan.

Jadi, Apakah pemerintah Indonesia sudah memikirkan hal-hal ini ?. Ditambah lagi Natuna yang kaya akan sumber daya minyak dan gas. Jika tidak ada kebijakan khusus untuk melindungi  sumber-sumber gas disana. Kedaulatan lingkungan kita akan semakin dilanggar bahkan jika tidak dihadapi dan diantisipasi  ancamannya dengan serius oleh Pemerintah. Bukan tidak mungkin timbulnya konflik kepentingan baru yang menyeret Indonesia atau bahkan sumber daya alam kita yang direbut oleh bangsa lain sampai dengan dampak geopolitik yang akan merugikan kita di masa mendatang.







Ancaman China Terhadap Lingkungan Maritim Indonesia

 

Pembangunan pangkalan militer serta pulau buatan China di Laut China Selatan (LCS) serta wara-wirinya kapal-kapal penjaga pantai China di perairan Natuna tidak hanya menjadi ancaman konvensional terhadap negara-negara sekitar termasuk Indonesia namun juga secara non konvensional khususnya dalam hal lingkungan. Tindakan proaktif militer China memberikan konsekuensi ancaman lingkungan yang besar, khususnya bagi ekosistem laut, karang di kawasan LCS serta dapat membahayakan ekosistem laut Indonesia di Natuna serta  perairan kita yang berbatasan langsung dengan LCS.

Dalam  penelitiannya (Kolodezhna et Vasyliuk 2022) menyatakan bahwa  kebanyakan orang hanya melihat dampak perang dari dampak terestrial atau fisiknya saja. Sebaliknya, perang juga memberikan dampak destruktif yang sama terhadap laut  dan keanekaragaman hayatinya. Terlebih, dampak di laut lebih sensitif terhadap dampak ekosistem di darat, karena keterhubungannya dengan sumber air.  Ini mengingatkan kita akan bahayanya dampak konflik China di LCS terhadap lingkungan kedaulatan Indonesia.  

Ada tigas  contoh ancaman serius yang dilakukan China terhadap kedaulatan lingkungan maritim Indonesia selama ini, seperti : 

 

  • Hancurnya terumbu karang 

Pembangunan pangkalan Militer dan pulau buatan di LCS telah menimbulkan kerusakan yang fatal akan biota laut khususnya terumbu karang. Menurut data dari CSIS sekitar 6.200 hektar terumbu karang telah hancur akibat pembangunan ini. Pengerukan dan reklamasi lahan yang dilakukan telah menyebabkan “kerusakan permanen dan tidak dapat diperbaiki” terhadap ekosistem terumbu karang, yang merupakan habitat penting bagi kehidupan laut.

Hal ini tentu berdampak kepada keanekaragaman hayati laut Indonesia  khususnya di perairan Natuna dan sekitarnya. Hal ini diakibatkan karena getaran seismik yang diakibatkan oleh alat-alat berat China bisa menghasilkan getaran yang menyebar sampai dengan ratusan kilometer. Meskipun jarak Perairan Natuna dengan pulau buatan China di Mischief Reef 900 km namun tetap bisa membahayakan jika China memperluas pembangunan pulau artificialnya ini untuk pangkalan militer.



  • Exploitasi ikan dan hancurnya ekosistem 

Sekitar 12% hasil penangkapan ikan secara global berasal dari LCS dan sampai sekarang penangkapan ikan terus dieksploitasi oleh nelayan-nelayan China karena mereka didukung dengan kapal-kapal penjaga pantai dan militer China yang lalu lalang di LCS bahkan di perairan Natuna.  Tahun 2023, menurut laporan dari GlobeNewswire terdapat 11.000 kapal penangkapan ikan China yang beroperasi di luar perairan Tiongkok, kapal-kapal ini berpencar sampai ke LCS dan Natuna Timur untuk melakukan penangkapan ikan ilegal. 

Akibat dari penangkapan ikan secara berlebihan dan ilegal ini stok ikan di LCS dan Natuna merosot drastis dan pada tahun 2010 saja Indonesia menderita kerugian sebesar 30 triliun/tahun (Jakarta Post 2010). Meskipun nelayan-nelayan ilegal yang beroperasi di LCS dan Natuna juga banyak berasal dari negara lain namun mayoritas berasal dari China. Akibatnya, nelayan-nelayan  lokal Indonesia mengalami penurunan hasil tangkapan selama bertahun-tahun.

Indonesia tidak hanya merugi secara finansial tetapi juga secara lingkungan. Penggunaan-penggunaan kapal pukat besar dan metode penangkapan ikan destruktif lainnya seperti dengan ledakan dan juga sianida kerap dilakukan nelayan Tiongkok yang berakibat fatal akan kelangsungan hidup satwa dan biota laut baik di LCS dan Natuna.

 

  • Perubahan Iklim dan Polusi laut

 Salah satu faktor yang tidak kalah serius adalah perubahan iklim dan tercemarnya air laut yang dapat mengakibatkan kematian mendadak flora dan fauna serta meningkatkan kadar sedimentasi polusi. Hal ini disebabkan karena aktivitas pembangunan pangkalan militer China, latihan militer China di LCS yang menumpahkan selongsong-selongsong rudal dan meningkatnya aktivitas  pelayaran kapal-kapal China di LCS dan Natuna. Meningkatkan lalu-lintas kapal-kapal tiongkok di LCS dan Natuna juga dapat meningkatkan risiko polusi dari tumpahan minyak, pembuangan limbah, dan kontaminan lainnya. 

Contohnya tahun 2023, menurut sumber dari Asia Maritime Transparency Initiative  terdapat sekitar 195 kapal milisi Tiongkok beroperasi di wilayah LCS yang berarti terjadi peningkatan sebesar 35% dari pengamatan sebelumnya​.​ Jumlah ini juga termasuk kapal-kapal besar profesional dan kapal-kapal dari “Spratly Backbone Fleet,” yang merupakan kapal-kapal komersial yang disubsidi oleh Tiongkok untuk mendukung klaim kedaulatannya di perairan yang disengketakan (2023)​.

Sementara itu di natuna, pada tahun 2020 saja terdapat hampir 20 kapal-kapal China yang keluar masuk wilayah Natuna Timur secara bebas bahkan satu kapal penelitian China beroperasi selama tujuh minggu di Natuna untuk memetakan kondisi bawah laut (East Asia Forum 2022) tanpa adanya tindakan tegas sekalipun dari pihak Indonesia.  

Dengan adanya aktivitas lalu-lintas kapal-kapal besar China yang ilegal dan semakin ramai di perairan Indonesia maka ini akan membahayakan kedaulatan lingkungan kita. Kita tidak pernah tahu apa saja yang diangkut kapal-kapal ini, alat-alat berat apa yang dipakai dan limbah apa saja yang dibuang ke perairan Indonesia. 

Kegiatan ini pun dapat menyebabkan kematian organisme laut, penurunan biodiversitas, hambatan jalur pelayaran karena pendangkalan, gangguan atau hilangnya habitat, menurunnya stok alami makanan laut (seafood), perubahan distribusi ukuran sedimen, peningkatan kekeruhan dan perubahan kedalaman.

 

Potensi-potensi ancaman diatas hanyalah beberapa contoh dari banyaknya ancaman yang ditimbulkan China terhadap lingkungan perairan kita. Apakah pemerintah Indonesia sudah mengambil langkah serius terhadap pelanggaran China yang dapat merusak dan mengancam biota, ekosistem dan sumber daya laut Indonesia ?.  Dalam bukunya The Coming Resource Wars, pakar keamanan internasional Michael Kare, menekankan jika konflik terhadap sumber daya alam dan lingkungan hidup kemungkinan besar akan terjadi di negara-negara berkembang di dunia, namun konflik ini pasti akan berdampak pada negara-negara maju yang juga tidak akan terhindar dari dampak buruk kerusakan lingkungan alam dan lingkungan hidup (Klare M 2006)

Dimanakah posisi Indonesia ketika kedaulatan lingkungan kita dilanggar terus oleh China ? dan pastinya, ancaman konflik LCS yang bisa membahayakan kedaulatan lingkungan Indonesia. Jika pemerintah tidak serius untuk mengatasi ancaman ini maka apa yang dilihat hanya sebagai kerusakan lingkungan  dapat mempengaruhi geopolitik dan stabilitas nasional Indonesia bahkan mempengaruhi keamanan nasional, hubungan internasional, dan stabilitas global negara ini.

 



 Potensi Instabilitas Geopolitik Indonesia di Natuna

 

Sejak awal tahun 1990an, lingkungan  memainkan peranan penting sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi stabilitas  keamanan  nasional bahkan sampai mempengaruhi konflik di masa depan. Selain itu, sumber-sumber daya alam maritim mempunyai potensi energi yang besar sekali. Contohnya di Natuna ada sumber gas dan minyak sehingga dampak kerusakan lingkungan maritim di perairan tersebut dan juga LCS akan merubah peta geopolitik sebuah negara dan lingkungan sekitarnya bahkan dapat membuat konflik besar.

Dalam artikelnya yang berjudul ‘An Abrupt Climate Change Scenario and Its Implications for United States National Security’, Randal menulis jika di masa mendatang konflik antar negara akan lebih luas konteksnya, tidak terbatas hanya dengan peperangan konvensional tetapi juga non-konvensional yang akan melibatkan dan memperebutkan sumber daya alam seperti energi, sumber makanan dan air. 

Oleh sebab itu, penting bagi Indonesia untuk bertindak serius dalam menindaklanjuti setiap ancaman yang dilakukan oleh China. Mengingat ancaman-ancaman tersebut akan berdampak serius terhadap situasi geopolitik di Asia Tenggara khususnya di wilayah kedaulatan kita di perairan Natuna. Ada beberapa skenario dampak rusaknya perubahan lingkungan  terhadap geopolitik indonesia seperti:

  •  Kelangkaan Sumber Daya dan Konflik

Ekosistem laut di Natuna menyediakan sumber daya penting, termasuk ikan, minyak, dan gas. Rusaknya ekosistem ini dapat menyebabkan kelangkaan sumber daya kelautan. Ditambah lagi dengan adanya illegal fishing di Natuna yang dapat menyebabkan kelangkaan pangan dan sudah terlihat jumlah stok ikan di Natuna sudah menipis dari tahun ke tahun dan terkadang menyebabkan harga ikan bisa naik. 

Hal ini tentu akan meningkatkan persaingan ekonomi dan potensi konflik atas sumber daya yang tersisa dan akhirnya menimbulkan konflik yang dapat meluas di kawasan. Selain itu,  dengan adanya kelangkaan pangan maka akan mendorong terjadinya aktivitas-aktivitas ilegal masyarakat pesisir di negara-negara sekitar LCS dan Natuna seperti seperti pembajakan dan penyelundupan, sehingga mengancam keamanan maritim Indonesia. Apalagi kawasan perairan di Natuna juga rentan terhadap bajak laut karena merupakan jalur maritim yang strategis. Potensi konflik seperti inilah yang harus cepat diantisipasi karena konflik tidak dibatasi oleh aktor-aktor negara tetapi juga non negara seperti bajak laut dan teroris. 

Dan perlu diingat, salah satu penyebab konflik berkepanjangan di Darfur, Sudan dari tahun 1930 hingga 2000an,  ini disebabkan karena kerusakan lingkungan yang menyebabkan  persaingan untuk mendapatkan tanah dan air untuk dikonsumsi manusia dan hewan (Mohamed, A.A. & Wadi, E.I 1998)

 

  1. Krisis Ekonomi

Kerusakan dan tergantungnya  pasokan air, pangan dan energi di Natuna karena dampak militerisasi dan China juga dapat mengganggu dan mengurangi  estetika lingkungan termasuk dalam bidang rekreasi dan pariwisata sehingga dapat menurunkan jumlah pariwisata yang ada di Natuna yang bisa menyebabkan krisis perekonomian bagi masyarakat setempat. 

Tidak hanya sektor pariwisata saja yang dapat terkena dampak  namun juga perekonomian Indonesia dan perekonomian global khususnya di wilayah Asia Tenggara. Rusaknya biota laut, titik-titik cadangan gas dan minyak dapat membuat harga minyak dan gas tidak stabil. Bahkan tumpahan minyak yang disebabkan kapal-kapal China dan pembangunan markasnya di LCS dapat menimbulkan kerugian ekonomi yang besar terhadap Indonesia. Bayangkan berapa kerugian yang harus dikeluarkan Indonesia untuk mengerahkan kapal-kapal untuk membersihkan minyak-minyak dan polusi-polusi yang disebabkan oleh China.

Dampak krisis ekonomi yang ditimbulkan akibat kerusakan lingkungan tidak main-main. PBB memperkirakan kerugian Produk Domestik Bruto (PDB) secara global yang  ditimbulkan oleh kerusakan lingkungan termasuk biota dan ekosistem laut sekitar $2,7 triliun atau sekitar dan dampaknya adalah hilangnya lumbung-lumbung ikan termasuk di Indonesia (UNDP 2023). Ini tidak bisa dianggap remeh karena Indonesia sudah mengalami kerugian sekitar 56 triliun/tahun hanya dari penangkapan ilegal fishing belum lagi ditambah dengan rusaknya karang dan biota-biota laut di perairan Natuna.

 

  • Migrasi Lingkungan

Salah satu dampak buruk dari kerusakan lingkungan yang diakibatkan dari militerisasi China dan sangat mempengaruhi geopolitik sebuah negara adalah munculnya fenomena  migrasi lingkungan (environmental migration). Fenomena ini terjadi ketika masyarakat terpaksa meninggalkan rumahnya karena perubahan dan degradasi lingkungan.Dalam konteks lingkungan maritim beberapa faktor spesifik dapat berkontribusi terhadap hal ini.

Contohnya, Polusi dan Degradasi Habitat: Polusi laut dari aktivitas kapal-kapal ikan China dan kapal-kapal besar mereka yang senantiasa mengitari laut Natuna dengan bebas untuk memetakan dasar laut Indonesia dan potensi mereka menumpahkan minyak dan limbah-limbah dari kapal mereka. 

Belum lagi jika terjadinya konflik besar di LCS, limbah-limbah perang seperti selongsong bom, kapal-kapal yang hangus terbakar dampak mencemari laut LCS dan juga Natuna dan mempunyai potensi merusak sumber-sumber pangan kelautan dan akhirnya menyebabkan kelangkaan bahan pangan.

Mungkin migrasi lingkungan karena dampak perang ini terdengar klise karena belum terjadi di Indonesia dan kemungkinan rencana mitigasi untuk mengatasi ini belum terpikirkan. Namun, fenomena ini nyata,   kerusakan lingkungan di Bangladesh telah menyebabkan hampir 300.000- 400.000 penduduk pindah dan memadati kota  Dhaka di Bangladesh. Hal ini disebabkan karena  kemiskinan dn juga  akses air yang susah. 

Tidak hanya itu salah satu penyebab konflik di Suriah adalah kerusakan lingkungan dimana lahan-lahan menjadi tandus dan kering yang menyebabkan krisis sosial-ekonomi dan migrasi besar-besaran disana. Potensi migrasi Lingkungan di Natuna pun besar, mengingat hampir 80% penduduk Natuna tinggal di rumah yang ada di atas pesisir laut yang mempunyai potensi hancur jika ada perubahan iklim. Dan jika adanya konflik di LCS pecah maka potensi mereka untuk terusir dari sana lebih besar karena berbatasan langsung dengan LCS. 

 

Apakah pemerintah sudah memikirkan dampak kerusakan lingkungan dari migrasi China di LCS dan Natuna?. Belum lagi jika akhirnya konflik meletus dan menyebabkan kelangkaan pangan di negara-negara sekitar atau mereka yg hidup di pesisir harus mengungsi.  Bagaimana jika migran-migran dari taiwan mengungsi ke Natuna. 

Ini tentu sangat membahayakan keamanan dan kedaulatan negara. Lihat saja apa yang terjadi di Aceh ketika migran-migran Rohingnya membanjiri Aceh dengan tidak terkendali. Apakah pemerintah siap jika konflik LCS pecah dan migran dari negara-negara sekitar datang ke Natuna karena rusasknya lingkungan di daerah mereka atau apakah pemerintah sudah menyiapkan rencana mitigasi jika suatu saat penduduk Natuna akhirnya harus keluar dari situ karena rusaknya tempat tinggal merek dan kelangkaan pangan terjadi karena konflik ?. Ini akan membuka ancaman geopolitik baru bagi Indonesia.

 

Menjaga Kedaulatan  Maritim Lingkungan Indonesia dari Ancaman

 

Menjaga kedaulatan lingkungan maritim Indonesia merupakan tugas semua anak bangsa namun pemerintahlah yang mempunyai peranan penting karena mereka yang mengambil kebijakan. Keamanan terhadap kedaulatan maritim lingkungan memberikan kita  negara berdaulat kontrol atas sumber daya alam maritim yang ada khususnya di Natuna. 

Tidak hanya sumber daya alam yang bisa kita nikmati tapi dengan menjaga kedaulatan lingkungan maritim.. Kita dapat menjaga alam khususnya  memperlambat perubahan iklim, dan berkontribusi kepada dunia internasional untuk mengurangi emisi gas rumah kaca, dan naiknya air permukaan laut yang mengancam saudara-saudara kita di natuna. Namun, apakah bangsa ini dan pemerintah sudah melakukan hal tersebut ?. Ditambah dengan adanya ancaman konflik di LCS dan potensi rusaknya lingkungan karena kapal-kapal China. 

Dibawah ini beberapa langkah yang bisa ditempuh untuk menjaga kedaulatan maritim Indonesia, seperti :

 

  • Kolaborasi Patroli Maritim 

Fenomena BAKAMLA dan kapal TNI  AL yang terkadang telat menghalau kapal-kapal China yang melanggar kedaulatan Indonesia dan akhirnya merusak lingkungan maritim kita terkadang membuat kita was-was. Oleh karena itu, perlunya kolaborasi yang lebih efektif antara BAKAMLA, TNI AL, TNI AU sampai dengan Badan Intelijen Negara untuk menjaga kedaulatan maritim Indonesia. 

Dengan adanya kolaborasi antar empat matra ini maka diharapkan kedaulatan maritim kita lebih sigap dalam menghadapi ancaman. Seperti contoh, ketika BIN mendapat laporan adanya potensi ancaman kapal-kapal China yang menuju Natuna maka secara langsung dapat berkoordinasi dengan BAKAMLA dan TNI AU untuk melakukan patroli udara dan laut. Jika kapal yang dikirim China lebih besar dari BAKAMLA maka BAKAMLA dapat berkoordinasi dengan TNI AL untuk langsung menuju Natuna untuk memperingatkan kapal-kapal China atau kapal ilegal lainnya yga berpotensi masuk ke perairan dan Natuna dan melakukan pengrusakan lingkungan atau mengeksploitasi sumber daya alam disana.

Kolaborasi joint forces seperti ini untuk mengamankan perbatasan laut sudah dilakukan negara-negara tetangga sekitar. Contohnya operasi yang dilakukan Australia, dengan nama Maritime Border Command (MBC) yang mengoptimalisasikan pasukan penjaga batas Australia  (Australian Border force) dengan Pasukan pertahanan Australia (Australian Defence Force) untuk mengamankan kedaulatan maritim mereka.

Melalui kolaborasi ini Australia sudah mengawasi, memantau, merencanakan dan mengerahkan armada pertahanan mereka di ZEE (zona Eksklusif Ekonomi) maritim mereka seluas 8,2 juta kilometer persegi. MBC aktif  melacak keluar masuk kapal dan juga ancaman dari kapal-kapal illegal.

Bagaimana dengan Indonesia, apakah sudah siap ?



  • Diplomasi aktif dan taktis

Indonesia dapat mengambil langkah diplomasi  secara aktif dan taktis dalam menghadapi hegemoni dan pelanggaran maritim China  di Natuna. Langkah aktif dapat dilakukan dengan terus memperjuangkan dan membawa pelanggaran-pelanggaran China ke dalam forum-forum lingkungan dan pertemuan bilateral di Asia dan Asean. 

Indonesia juga dapat berperan aktif dalam berdiplomasi dengan negara-negara sekitar di perbatasan LCS dan mensosialisasikan dampak buruk lingkungan. Seperti perubahan iklim lingkungan akibat naiknya gas rumah kaca, naiknya suhu laut dan matinya ekosistem akibat militerisasi  China dan kapal-kapalnya yang dapat menumbuhkan minyak dan limbah di kawasan. 

Dialog aktif dan intensif perlu dilakukan dengan Tiongkok untuk mengelola ketegangan dan mencegah terjadinya eskalasi yang lebih besar.  Selain itu, Indonesia dapat menggunakan  salah satu dasar Hukum Humaniter Internasional/ International Humanitarian Law (IHL) dalam menekan China dalam berdiplomasi untuk tidak melakukan agresi militer dan militerisasi di LCS. 

Berdasarkan IHL,  penggunaan militer di laut selama konflik bersenjata dibatasi dan dilarang untuk melindungi lingkungan biota maritim. Hal ini dikarenakan karena  lingkungan laut pada dasarnya merupakan objek sipil atau objek yang bukan merupakan sasaran militer. sehingga tidak boleh menjadi sasaran serangan. Lebih lagi, Hukum humaniter dengan jelas menekankan dalam pasal 52 bahwa  Pasal 52 (1) AP I, bahwa “objek-objek sipil tidak boleh dijadikan sasaran penyerangan atau pembalasan”. Dengan menggunakan asas ini Indonesia bisa lebih menekan China dalam masalah lingkungan akibat militerisasi mereka di LCS (International Review of the Red Cross 2010).

Sedangkan diplomasi taktis menekankan  pada penggunaan tindakan strategis, tindakan diplomatik dan negosiasi untuk mencapai tujuan tertentu dan seringkali bersifat jangka pendek. Hal ini melibatkan pendekatan yang diperhitungkan dalam hubungan internasional, dengan fokus pada manuver melalui lanskap politik yang kompleks. Sebagai contoh, Indonesia bisa merevisi perjanjian kerjasama China di Indonesia sebagai bentuk protes atas ancaman lingkungan. 

Tidak hanya itu Indonesia bisa melakukan pembatasan terhadap pekerja-pekerja China yang tergabung dalam ‘Belt Road initiative’. Dengan adanya langkah-langkah taktis ini maka diharpkan china dapat mengurangi aktivitas mereka yang dapat mengancam lingkungan di perairan Natuna.  

 

  • Membentuk koalisi Hijau Internasional

Koalisi Hijau yang dimaksud adalah sebuah inisiatif atau sebuah gerakan perubahan untuk mempromosikan kelestarian lingkungan dan memerangi perubahan iklim khususnya di LCS dan perairan Natuna. Indonesia dapat menggerakan non-state actors di dalam negeri seperti  organisasi-organisasi nirlaba lokal yang  fokus akan lingkungan untuk bekerjasama dengan organisasi lingkungan lainnya dari negara-negara yang berkonflik dengan China di LCS untuk melindungi ekosistem maritim, mengurangi dampak perubahan lingkungan  di LCS. 

Sinergi juga dapat dilakukan dengan mempromosikan dan memperjuangkan lingkungan maritim dengan organisasi seperti Greenpeace, World Wildlife Fund (WWF), dan Friends of the Earth menangani isu-isu lingkungan. Dengan adanya aksi seperti ini maka dapat membuka kesadaran masyarakat di negara-negara sekitar LCS untuk lebih peduli dengan lingkungan maritim mereka. Dengan tidak langsung mereka pun dapat berpartisipasi untuk menghalau kapal-kapal China ilegal yang masuk ke dalam wilayah kedaulatan maritim bangsa mereka masing-masing.

Sinergi koalisi hijau antara negara  di sekitar kawasan Asia Tenggara ini juga dapat melahirkan pakta-pakta kerjasama internasional Lingkungan seperti Perjanjian Paris (Paris Agreement) yang fokus pada pemanasan global dan mengurangi emisi gas rumah kaca. Bayangkan jika Indonesia bisa memprakarsai dan mencetuskan ‘South China Sea Environmental agreement’ dimana negara-negara di sekitar LCS ini setuju dan bersama-sama untuk melindungi wilayah lingkungan laut mereka dari ancaman kerusakan oleh China. Mengatasi ancaman lingkungan global secara efektif dibutuhkan perjanjian multilateral yang harus dibentuk dan menyelaraskan kesejahteraan ekonomi dengan perlindungan lingkungan. Indonesia negara posisi tawar internasionalnya yang kuat dapat melakukan ini dengan koalisi hijau antarnegara.

Disamping itu, pakta perjanjian internasional ini juga dapat membuka mata dunia bahwa ada ancaman militer China di LCS sehingga dapat memberikan tekanan moral kepada China. 



Konflik militer dan ketidakmampuan negara dalam melindungi kedaulatan maritim mereka sudah jelas akan berdampak buruk bagi sumber daya dan ekosistem mereka. Contohnya, Konflik Ukraina-Rusia ketika perang menimbulkan konsekuensi negatif, dan ekosistem di  Laut Hitam dan Laut Azov.  

Ledakan rudal, amunisi dan pergerakan kapal laut membunuh lumba-lumba, menghancurkan habitat dan potensi maritim.  Latihan militer, peluncuran rudal dan  penggunaan senjata-senjata berat di laut secara terus-menerus mengancam pencemaran laut akibat produk minyak bumi dan bahan kimia beracun. Bahkan, di dalam artikelnya yang berjudul ‘Ecological Interventions: Prospects and Limits’, Robyn Eckersley menekankan bahwa kerusakan lingkungan merupakan ancaman potensial terhadap perdamaian dan keamanan internasional  (Robyn Eckersley 2007).

Oleh sebab itu Indonesia harus menyikapi serius pelanggaran-pelanggaran terhadap kedaulatan lingkungan maritim yang dilakukan China di Natuna karena akan menjadi efek domino yang dapat mengganggu ketahanan dan keamanan nasional kita bahkan merusak lingkungan maritim dan mengancam penduduk Natuna yang tinggal disana.




Sumber

Asia Maritime transpency Initiiative. 2023. Wherever They Roam : China’s Militia in 2023.

Barral, Virgine. 2016. National sovereignty over natural resources: Environmental challenges and sustainable development,.

East Asia Forum. 2022. Jakarta gets ‘grey-zoned’ by Beijing.

International Review of the Red Cross. 2010. “Water, International Peace, and Security.”

Jakarta Post. 2010. Natuna waters threatened by overfishing. : https://www.thejakartapost.com/news/2010/12/28/natuna-waters-threatened-overfishing.html.

Klare M. 2006. The Coming Resource Wars.

Kolodezhna et Vasyliuk. 2022. Mass dolphin mortality in the Black Sea: a military perspective – Ukraine War Environmental Consequences Work.

Mohamed, A.A. & Wadi, E.I. 1998. ‘Perspectives on Tribal Conflicts in Sudan.’ Institute of African and Asian Studies, Khartoum.

Robyn Eckersley. 2007. 'Ecological Interventions: Prospects and Limits’. 21.

UNDP. 2023. The destruction of nature threatens the world economy. It’s time to outlaw it as a serious financial crime.

 

 

 

 

 

Ikuti tulisan menarik Arben Sumbung lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Antumbra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Antumbra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu