x

Iklan

Rizky Ramadhianto

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 30 Mei 2024

Jumat, 31 Mei 2024 14:12 WIB

Urgensi Kedaulatan Indonesia: Lansekap Dinamika Ancaman Konflik Laut China Selatan

Penulisan artikel bertujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat Indonesia terhadap pentingnya kedaulatan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Meninjau pada perkembangan lingkungan strategis beserta interaksi antar negara besar saat ini, setidaknya terdapat beberapa titik ketegangan yang berpotensi untuk bereskalasi menjadi konflik perebutan hegemonik, salah satunya yaitu di Laut China Selatan. Indikator-indikator seperti intensitas perang, disrupsi ekonomi, dan jarak geografis mengindikasikan sebuah potensi konflik bereskalasi yang harus dihadapi oleh Indonesia, tujuannya agar tidak terjadi spill over melalui peningkatan kapasitas secara terintegrasi di seluruh dimensi dalam rangka menjaga kedaulatan negara.

Indonesia berdaulat atas wilayahnya dan juga memiliki hak-hak berdaulat di luar wilayah kedaulatannya dengan kewenangan tertentu yang bertujuan untuk menyejahterakan dan memakmurkan rakyat. Adapun kriteria wilayah yaitu merupakan seluruh sumber kekayaan yang terkandung di dalamnya, meliputi daratan, ruang udara, perairan pedalaman dan kepulauan, serta laut teritorial, termasuk dasar laut dan tanah dibawahnya.

Wilayah Indonesia dibatasi oleh wilayah negara lain yang berfungsi sebagai pembatas kedaulatan dan memegang peranan penting dalam mempertahankan kedaulatan Indonesia. Keamanan dan keutuhan wilayah, serta pemanfaatan sumber daya alam merupakan manifestasi utama kedaulatan wilayah Indonesia.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dalam konteks Laut China Selatan, meskipun bukan termasuk negara pengklaim, namun kedaulatan wilayah Indonesia terancam oleh adanya klaim sepihak dari pemerintah China pada tahun 2009 perihal peta baru Nine Dash Line. Klaim ini dianggap mengancam Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia di Laut Natuna Utara yang tururt disertai oleh adanya peningkatan manuver angkatan bersenjata China di wilayah tersebut, setelah sebelumnya terjadi sengketa di Laut China Selatan yang melibatkan Brunei, Filipina, Malaysia, Vietnam, China, dan Taiwan. Persengketaan ini merupakan klaim dan interpretasi UNCLOS 1982 yang saling bersinggungan, sehingga dapat menjadi potensi ancaman bagi Indonesia dalam penegakkan hak-hak kedaulatannya di Laut Natuna Utara jika dibiarkan terjadi berlarut.

Laut China Selatan ialah wilayah perairan bernilai sangat strategis, selain sumber daya alam melimpah seperti minyak dan gas, tetapi juga karena statusnya sebagai perairan internasional tersibuk di dunia menjadikan banyak negara terutama negara-negara besar berambisi untuk menguasai wilayah tersebut secara menyeluruh. Penguasaan wilayah dan klaim di Laut China Selatan lantas mengancam stabilitas negara-negara di kawasan Asia Tenggara, termasuk Indonesia.

Berdasarkan perkembangan fenomena terbaru ini, kita menyadari bahwasanya sengketa di Laut China Selatan bertransformasi menjadi arena pertarungan dua kekuatan besar dunia, yaitu China dan Amerika Serikat. Hal ini berimplikasi terhadap kerentanan domestik negara-negara Asia Tenggara yang terancam dengan tindakan Tiongkok dan diperburuk oleh keterbatasan dalam menghadapi negara adikuasa Amerika Serikat, hingga akhirnya membentuk konstelasi ketakutan dan ancaman. Pemerintah China sendiri memperkuat klaimnya terhadap wilayah Laut China Selatan berdasarkan peta historis yang dikeluarkan sejak tahun 1947, memuat gambaran pulau-pulau di Laut China Selatan sebagai perairan China dengan menggunakan sembilan garis putus-putus atau Nine Dash Line.

Indonesia sebagai anggota ASEAN lantas mengajukan Zero Draft Code of Conduct (CoC) setelah sebelumnya tercipta komitmen seluruh negara pengklaim untuk menyelesaikan permasalahan melalui jalur damai berbasis penyusunan Code of Conduct (CoC) sebagai aturan dalam mengatur tindakan di Laut China Selatan secara legal. Meskipun demikian, hingga kini kemajuan pembahasan CoC dinilai berjalan lambat dan tergantung keberadaannya selama lebih dari 20 tahun, serta turut diiringi dengan meningkatnya intensitas tindakan asertif China di Laut China Selatan.

Entitas  CoC diharapkan cukup efektif untuk meningkatkan kepercayaan di antara pihak-pihak yang berkepentingan, meski tidak bisa menyelesaikan sengketa. Setidaknya, CoC dapat meminimalisasi ketegangan di Laut China Selatan dengan mengatur bagaimana para pihak harus bersikap dan berperilaku hingga resolusi bersama disepakati oleh semua pihak yang terlibat. Namun hal yang justru terjadi ialah persengketaan menjadi semakin lebih kompleks karena adanya kepentingan kekuatan regional yang lebih besar atas keselamatan navigasi di sepanjang perairan yang disengketakan.

Sejauh ini Indonesia telah mengupayakan seluruh pihak terkait keamanan dan stabilitas Asia Tenggara untuk duduk bersama dan berdiskusi mengenai solusi terhadap isu-isu terkini dan mengedepankan kerja sama di atas konflik. Singkatnya, ini adalah upaya Indonesia untuk menjadi penyeimbang di antara kekuatan-kekuatan regional. Indonesia telah memainkan peran sentral di antara negara-negara anggota ASEAN dan tindakannya telah menjadi pedoman bagi negara-negara tetangga.

Meskipun Indonesia bukan negara pengklaim di Laut China Selatan, namun Indonesia memiliki kepentingan vital berupa hak-hak berdaulat nasional di perairan yurisdiksi Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dan landas kontinen Indonesia, utamanya di kawasan Laut Natuna Utara. Berdasarkan UNCLOS 1982, Indonesia memiliki hak-hak berdaulat atas ZEE untuk tujuan eksplorasi dan eksploitasi, konservasi dan pengelolaan sumber daya alam, baik yang hidup maupun yang tak hidup, di perairan yang bersebelahan dengan dasar laut dan di dasar laut dan tanah dasarnya, dan yang berkaitan dengan kegiatan-kegiatan lain untuk eksploitasi dan eksplorasi ekonomi di zona tersebut, seperti energi produksi dari air, arus dan angin, serta yurisdiksi yang diatur dalam ketentuan-ketentuan tertentu.

Dikarenakan posisi strategisnya sebagai jalur utama pelayaran global dan kekayaan sumber daya alam, Laut China Selatan menjadi hotspot konflik di Asia Pasifik. Hal ini mengakibatkan sejumlah negara memiliki kepentingan yang saling bersinggungan untuk menguasainya dengan meningkatkan kehadirannya melalui pembangunan pangkalan atau menggelar kekuatan maritim. Skenario terburuknya apabila konflik bereskalasi menjadi perang terbuka, maka kawasan Laut Natuna Utara yang juga bersinggungan langsung dengan wilayah tersebut turut dijadikan sebagai area peningkatan kapasitas militer dan kekuatan maritim Indonesia guna menjaga kedaulatan wilayahnya.

Wilayah pertahanan berbasis maritim yang dimiliki Indonesia yang mana tersebar begitu luas dengan corak masyarakat yang bersifat multikultur menegaskan bahwa keamanan maritim Indonesia harus dibina secara merata serta terintegrasi dengan proporsi yang tepat, mulai dari kekuatan laut, udara, hingga darat. Implementasi langkah-langkah keamanan maritim Indonesia tertuang jelas dalam visi Poros Maritim Dunia (PMD) pada tahun 2014 sebagai landasan dalam penegakkan kedaulatan wilayah laut Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Meskipun demikian, kerangka fondasi pembangunan masih belum mengarah kepada maritim yang seharusnya potensi ini dapat menjadi tumpuan dalam kedaulatan bangsa. Akibatnya dapat menimbulkan Ancaman, Tantangan, Hambatan, dan Gangguan (ATHG) yang bersifat militer maupun non-militer sehingga berpotensi membahayakan kedaulatan.

Proyeksi keamanan maritim Indonesia sejatinya bukan hanya ditujukan bagi penegakkan kedualatan dalam rangka pemenuhan kepentingan nasional, tetapi juga untuk menggapai status Indonesia sebagai negara poros pertahanan maritim, daratan, dan dirgantara berskala regional dan global. Ambisi ini mengindikasikan adanya perubahan haluan pembangunan pertahanan militer Indonesia yang lebih cenderung bersifat outward looking defense.

Doktrin tersebut berorientasi pada fokus pertahanan dalam hal menghilangkan niat dan tujuan negara lawan melalui skema pembangunan determinan penangkalan dengan menyinergikan antara strategi perlindungan pulau-pulau besar serta strategi pertahanan laut dan udara pada tataran operasional dan taktis untuk menjadi suatu kesatuan strategis. Doktrin ini pun menegaskan bahwasanya pertahanan maritim Indonesia harus memperkuat kemampuan strategis terhadap Intelligence, Surveillance, and Reconnaissance (ISR) guna mendukung domain maritim melalui akuisisi pemutakhiran teknologi sensor.

Teknologi ISR utamanya harus diperkuat pada jalur pelayaran ALKI I, II, dan III yang mana alur transportasi perniagaan internasional di ketiga jalur ini rentan terhadap ancaman kedaulatan wilayah maritim Indonesia. Salah satu contoh skenario yang dapat dijadikan bahan refleksi yaitu apabila TNI menggelar latihan militer Indonesia di kawasan ALKI, pada satu sisi otoritas militer Indonesia harus menjaga integritas latihan tersebut agar tidak terpantau secara leluasa oleh militer asing, namun di sisi lain tentunya ini dapat mengganggu kelancaran mobilitas kapal-kapal internasional yang melintas di jalur ALKI dan berpotensi merusak ketentuan yang tertuang pada UNCLOS 1982. Bagi pemerintah Indonesia hal ini bersifat dilematis, meskipun demikian tidak akan menjadi permasalahan signifikan apabila pertahanan maritim mampu mengandalkan kekuatan teknologi ISR yang mutakhir dan mumpuni.

Fenomena seperti contoh skenario diatas sejatinya merupakan urgensi untuk memperkuat infrastruktur keamanan nasional pada domain laut. Sejauh ini potensi transportasi laut berupa sarana dan prasarana di sepanjang jalur ALKI I, II, dan III masih belum dimanfaatkan secara lebih optimal, padahal jika hal ini dapat diatasi maka secara otomatis akan meningkatkan value added bagi kedaulatan wilayah maritim Indonesia.

Berdasarkan Undang-Undang No. 3 tahun 2002 tentang Pertahanan Negara memuat konsep pertahanan negara yang berdasarkan pada strategi Perang Semesta di wilayah sendiri, konsekuensinya yakni cenderung hanya berfokus kepada satu matra saja, yaitu Angkatan Darat, sehingga menimbulkan ketidakseimbangan terhadap kekuatan postur pertahanan. Bentuk negara kepulauan memungkinkan Indonesia akan terjebak pada orientasi sistem pertahanan pulau besar dan rangkaian pulau-pulau kecil. Indonesia harus selalu beralih fokus pada doktrin pertahanan negara maritim, yang syarat akan ketangguhan laut dan udara.

Kecenderungan perkembangan lingkungan strategis di Laut China Selatan utamanya Laut Natuna Utara yang bersinggungan dengan kepentingan nasional Indonesia dalam mempertahankan kedaulatan dapat dimanfaatkan sebagai pemantik untuk menyusun perubahan konsepsi pertahanan dari daratan ke laut dan udara. Mengingat saat ini skala pertahanan dan keamanan bukan hanya terbatas pada substansi kewilayahan, namun menyangkut isu-isu spesifik yang semakin komprehensif meliputi keamanan insani, keamanan ekonomi, keamanan energi, dan lainnya termasuk keamanan maritim. Maka sudah sepatutnya spektrum pertahanan Indonesia disesuaikan pula dengan permasalahan tersebut.

Pertahanan maritim Indonesia harus dimulai dari sebuah sistem pertahanan yang baik dalam manajemen wilayah perbatasan dan manajemen sumber daya kelautan. Sejumlah konsep dan relevansi paradigma ini tercermin dalam pemeliharaan wilayah maritim termasuk perbatasan laut dan darat, serta pengadaan alutsista.  Pemenuhan alutsista tetap menjadi salah satu faktor penentu keberhasilan sebuah strategi pertahanan dalam menyokong pertahanan maritim. Alutsista yang kuat, mandiri, dan mumpuni menjadi sebuah ajang defensive diplomacy dalam kerangka outward looking defense.

Grand theme kemaritiman Indonesia tidak terlepas dari proses pengakuan wilayah yang diperjuangkan melalui diplomasi pertahanan, pergeseran konsep pertahanan hingga pemeliharaan wilayah maritim, dimana laut Indonesia akan diprioritaskan bagi perdagangan jalur laut beserta pemanfaatan sumber daya alam yang ada di laut. Sehubungan hal ini, maka Indonesia perlu untuk mewujudkan strategi-strategi tersebut dalam upaya menciptakan keteraturan dan kawasan yang kondusif dari berbagai ancaman dalam memanfaatkan Laut China Selatan secara komprehensif demi kesejahteraan kawasan.

Indonesia perlu memastikan bahwa wilayah kedaulatannya di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Laut Natuna Utara terbebas dari berbagai jenis pelanggaran. Indonesia harus mengambil tindakan tegas seperti penegakkan hukum apabila terjadi pelanggaran, termasuk terhadap China dengan berusaha sebaik mungkin agar tidak melanjutkan klaimnya. Cara-cara yang dapat ditempuh ialah melalui strategi diplomasi pertahanan guna meningkatkan kemampuan pertahanan terutama pada aspek sistem dan kekuatan persenjataan yang memanfaatkan teknologi siber dan Artificial Intelligence (AI).

Selain itu, Indonesia harus segera melakukan langkah-langkah sistematis untuk melakukan pendekatan kepada negara-negara yang masih memiliki permasalahan perbatasan maritim dengan Indonesia. Tujuannya guna mempercepat penyelesaian permasalahan perbatasan maritim yang berkaitan dengan batas laut teritorial, landas kontinen dan ZEE. Sehubungan hal ini, maka sangat penting bagi Indonesia untuk menyusun strategi peningkatan kerja sama maritim mulai dari tingkat bilateral, regional, hingga multilateral, yang mana kebijakan luar negeri Indonesia dapat diorientasikan untuk mengoptimalkan potensi kelautan guna menegakkan kedaulatan sesuai dengan peraturan nasional dan hukum internasional serta meyakinkan China agar mengakui ketentuan UNCLOS 1982, sehingga China dapat menghapus klaimnya atas ZEE Indonesia di Laut Natuna Utara.

Strategi diplomasi Indonesia pada kerangka kebijakan luar negeri perlu disertai dengan upaya peningkatan kemampuan pertahanan guna melindungi keamanan aktivitas, tenaga kerja, dan peralatan, eksploitasi dan eksplorasi sumber daya alam kelautan di area Laut Natuna Utara. Dengan begitu maka pembangunan maritim dinilai berkontribusi terhadap penegakkan kedaulatan Indonesia atas wilayah dan kekayaan sumber daya laut. Hal ini mutlak diperlukan karena seluruh potensi sumber daya maritim akan terlindungi dari ancaman negara lain, sehingga dapat menunjang terciptanya kelangsungan pembangunan bangsa, baik di waktu sekarang dan masa depan.

Sebagai negara kepulauan dengan kondisi geografis terbuka serta semakin canggihnya kemajuan teknologi militer, maka postur pertahanan Angkatan Laut dan Angkatan Udara yang tangguh sebagai garda terdepan sudah seharusnya dimiliki oleh Indonesia. Hal ini dikarenakan Angkatan Laut dan Angkatan Udara merupakan ujung tombak dalam hal pencegahan infiltrasi dan subversi kekuatan militer asing agar tidak memasuki teritorial Indonesia.

Dalam ruang lingkup yang lebih bersifat taktis, Angkatan Laut Indonesia dituntut untuk memiliki armada laut dengan kemampuan maritim eksploratif. Artinya ialah Angkatan Laut Indonesia harus memiliki armada kapal yang mampu beroperasi dan menjangkau wilayah ZEE dengan cepat yang ditopang oleh kemampuan beroperasi di laut lepas, baik di sekitar wilayah maupun jauh melebihi wilayah ZEE.

Selain untuk mendukung pengelolaan sumber daya alam, pengawasan, dan penegakkan hukum, wilayah ZEE Laut Natuna Utara juga harus diawasi untuk mencegah terjadinya pelanggaran terhadap kebebasan bernavigasi dan penerbangan. Jika hak-hak kedaulatan Indonesia di ZEE Laut Natuna Utara terancam, maka sebagai konsekuensinya ancaman tersebut akan meluas terhadap kepentingan nasional Indonesia.

Perkembangan sengketa Laut China Selatan telah mendorong Indonesia dan negara-negara ASEAN lainnya untuk memajukan kerja sama keamanan maritim sebagai salah satu cara dalam meyakinkan masyarakat global bahwa sengketa ini tidak akan berubah menjadi konflik/perang terbuka. Oleh karenanya, sudah selayaknya bagi TNI Angkatan Laut menerima dukungan dari berbagai instansi dalam negeri sebagai upaya untuk mengambil peran guna memimpin kerja sama lintas angkatan laut yang merupakan bagian dari kontribusi terhadap stabilitas keamanan maritim regional dan global.

Dalam rangka merealisasikan keberhasilan kerja sama maritim regional bahkan global dalam bentuk kemitraan strategis, sangat mutlak diperlukan peningkatan kemampuan personel, peningkatan dan pemeliharaan sistem manajemen informasi maritim, pemanfaatan teknologi yang ada, kerja sama pendidikan dan pelatihan, hingga perumusan Standard Operating Procedure (SOP). Kerja sama ini sangat memperhatikan faktor interoperabilitas guna memastikan keberhasilan dalam hal pemanfaatan kapal, pesawat udara, dan personel yang saling terintegrasi melalui proses komunikasi dan koordinasi pada operasi gabungan dari setiap pasukan keamanan maritim.

Seiring dengan semakin terbatasnya sumber daya di daratan dari waktu ke waktu, banyak negara terdorong untuk melirik lautan dan samudera sebagai sumber daya alam yang menjanjikan berikutnya demi kepentingan nasionalnya. Kedaulatan berupa akses dan penguasaan terhadap sumber daya tersebut telah menjadi akar konflik dan sengketa yang terjadi saat ini di kawasan Laut China Selatan. Kedaulatan sumber daya alam mutlak diperlukan sebagai upaya mendorong perekonomian nasional oleh negara-negara pengklaim Laut China Selatan, dalam kondisi mapan kedaulatan sumber daya alam semakin dipertegas dengan penguasaan dan kepemilikan oleh negara yang berperan sebagai pengelola sumber daya alam.

Dengan tercapainya kesepakatan yang komprehensif mengenai batas-batas laut antara Indonesia dengan negara-negara pengklaim Laut China Selatan, maka secara signifikan akan mengurangi frekuensi pelanggaran yang terjadi terhadap ZEE Indonesia di Laut Natuna Utara. Terlebih akan membuat Indonesia memiliki kekuatan ekstra untuk membujuk China agar menarik klaimnya atas wilayah ZEE Indonesia di Laut Natuna Utara. Apabila Indonesia dapat meminimalisasi implikasi dari konflik tersebut, tentu saja tidak hanya membawa pengaruh positif terhadap kedaulatan, namun juga terhadap pembangunan nasional, sehingga konsep dalam pengaturan dan penyelenggaraan kesejahteraan serta keamanan di segenap aspek kehidupan nasional yang diusahakan akan terwujud secara selaras, serasi dan seimbang.

Ikuti tulisan menarik Rizky Ramadhianto lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Antumbra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Antumbra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu