x

Iklan

yusfi fitrawan

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 12 Mei 2024

Sabtu, 1 Juni 2024 06:51 WIB

Dinamika Persaingan AS-RRT di Laut Cina Selatan: Langkah Strategis Indonesia

Dari segi politik, konflik Laut Cina Selatan telah memaksa Indonesia untuk menavigasi pendekatan permasalahan maupun peran yang Indonesia mainkan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Dari sudut pandang geografis, kawasan Asia Tenggara memegang peranan penting dalam strategi global, khususnya wilayah Laut Cina Selatan dan Selat Malaka. Laut Cina Selatan adalah rute perdagangan global yang sangat penting, dikenal akan kelimpahan sumber dayanya, berpotensi besar sebagai penghasil hidrokarbon, serta memegang peranan strategis dan politis yang besar. Klaim Republik Rakyat Tiongkok (RRT) terhadap Laut Cina Selatan yang dimanifestasikan dengan Nine Dash Line menimbulkan sengketa wilayah dengan lima negara ASEAN (Vietnam, Filipina, Malaysia, Brunei, dan Indonesia) dan Taiwan.

Konflik kedaulatan wilayah yang terjadi antara RRT dan negara-negara anggota ASEAN, khususnya Filipina, turut melibatkan AS (Amerika Serikat) ke dalam perselisihan karena adanya perjanjian pertahanan bersama antara AS dengan Filipina. Dalam pusaran konflik Laut Cina Selatan, bukan hanya kedaulatan wilayah Indonesia yang terancam, tetapi juga keseimbangan strategis regional. Indonesia perlu mempertimbangkan dengan cermat persaingan antara AS dan RRT untuk merumuskan respons yang memadai dan proaktif yang dapat melindungi kepentingan nasional dan stabilitas regional.

Framework atau kerangka kerja PMESII-PT (Political, Military, Economic, Social, Information, Infrastructure, Physical Environment, Time) memungkinkan analisis yang komprehensif dan terpadu atas beragam faktor dan informasi yang mempengarui lingkungan operasional. Framework ini sangat relevan dalam menganalisis pengaruh konflik Laut Cina Selatan terhadap kedaulatan Indonesia, dimana setiap variabel berinteraksi secara kompleks dan dapat mempengaruhi keputusan strategis. Dalam kerangka PMESII-PT, dimensi yang paling mendapat pengaruh signifikan dari konflik Laut Cina Selatan adalah politk, militer dan ekonomi.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dari segi politik, konflik Laut Cina Selatan telah memaksa Indonesia untuk menavigasi pendekatan permasalahan maupun peran yang Indonesia mainkan. Pada masa pemerintahan Presiden Jokowi, pendekatan Indonesia terhadap sengketa Laut Cina Selatan telah bergeser dari yang semula aktif dalam upaya mencari solusi damai, menjadi lebih fokus pada perlindungan kepentingan sendiri di sekitar Kepulauan Natuna tanpa memprovokasi RRT. Kunjungan resmi Presiden Jokowi ke Ranai di Natuna Besar pada tanggal 23 Juni 2016 seakan mengirimkan pesan kepada pemerintah Beijing bahwa Indonesia akan mempertahankan kedaulatannya di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dengan kekuatan bersenjata apabila diperlukan.

Pelanggaran wilayah yang dilakukan oleh RRT di wilayah ZEE Indonesia telah memicu Tentara Nasional Indonesia (TNI) untuk mengambil berbagai langkah dan upaya dalam menjaga kedaulatan Indonesia. Pembentukan Komando Gabungan Wilayah Pertahanan (Kogabwilhan) pada tahun 2019 merupakan salah satu upaya untuk menciptakan efek deterrent terhadap ancaman militer dari luar. Lebih lanjut, dalam rangka memperkuat kebijakan pertahanan, TNI secara intensif meningkatkan hubungan diplomasi pertahanan dengan menginisiasi serta mengembangkan kerjasama bilateral dan multilateral dalam sektor pertahanan. Latihan militer berskala internasional, seperti Super Garuda Shield, yang diadakan secara tahunan, merupakan manifestasi dari strategi diplomasi pertahanan Indonesia. Inisiatif-inisiatif ini menandakan dedikasi negara dalam memelihara kedaulatan wilayahnya dan mengantisipasi dampak negatif yang mungkin timbul dari ketegangan di Laut China Selatan.

Dari perspektif ekonomi, ketegangan di Laut Cina Selatan berpotensi memberikan konsekuensi yang substantial terhadap Indonesia. Konflik ini akan menimbulkan ancaman terhadap integritas jalur perdagangan maritim yang krusial, yang pada tahun 2016 menymbang sekitar 21% dari total perdagangan global. Hal ini dapat berdampak signifikan terhadap keamanan dan kelancaran perdagangan internasional, termasuk perdagangan yang dilakukan oleh Indonesia. Klaim wilayah oleh RRT melalui Nine Dash Line yang tumpang tindih dengan ZEE Indonesia di perairan Natuan berpotensi mengurangi kontrol Indonesia atas sumber daya alamnya. Wilayah tersebut merupakan zona perikanan utama dan memiliki cadangan gas alam yang signifikan, menjadi krusial bagi kedaulatan ekonomi Indonesia. Ketidakpastian yang ditimbulkan oleh klaim ini berpotensi menghambat investasi dan mengganggu proyek-proyek infrastruktur strategis yang esensial bagi pertumbuhan ekonomi berkelanjutan Indonesia.

Dalam konteks geopolitik Asia Tenggara, khususnya di Laut China Selatan, dinamika rivalitas antara AS dan RRT memerlukan pemahaman mendalam oleh Indonesia. Rivalitas strategis kedua negara adikuasa ini berbeda dari konfrontasi Perang Dingin antara AS dan Uni Soviet yang ditandai dengan aksi dan reaksi timbal balik. Pada kasus AS dan RRT saat ini, Beijing secara proaktif mengambil inisiatif yang berdampak pada kepentingan strategis Washington di berbagai sektor, termasuk beberapa yang bersifat terselubung atau ambigu. Inisiatif yang paling menonjol adalah intensifikasi aktivitas militer RRT di kepulauan Spratley dan Paracel yang menurut UNCLOS (United Nations Convention on the Law of the Sea) termasuk dalam yurisdiksi Filipina. Di samping itu, ekspansi Belt and Road Initiative (BRI) oleh RRT di negara-negara ASEAN, semakin memantapkan pengaruhnya di kawasan Laut Cina Selatan.

Di tengah gempuran pengaruh RRT yang sangat agresif di kawasan Asia Tenggara, khususnya Laut Cina Selatan, AS masih memiliki akar yang kuat dan mempunyai kekuatan yang lebih besar dan komprehensif dibandingkan dengan kompetitornya. Di kawasan Laut Cina Selatan, AS memiliki “traditional allies” yaitu Thailand dan Filipina yang didukung oleh sejarah keterikatan yang panjang dan perjanjian pertahanan yang kokoh. Dengan Singapura sendiri, AS telah mengukuhkan kerja sama bilateral yang kuat dengan tiga perjanjian kerja sama tahun 1990, 2005 dan 2015. Melalui serangkaian kerja sama tersebut, AS berupaya untuk menyeimbangkan dominasi RRT dan memelihara stabilitas geopolitik di Asia Tenggara. Selain itu, AS juga telah memperkuat kehadirannya di Laut Cina Selatan melalui operasi Freedom of Navigation (FONOPs), yang bertujuan menegakkan hak lintas damai di perairan internasional dan menantang klaim maritim RRT yang dianggap tidak sah menurut hukum internasional.

Dalam konteks perumusan strategi untuk menghadapi konflik Laut Cina Selatan dan dinamika persaingan antara AS-RRT, penting untuk menetapkan ends (tujuan)-ways (cara)-means (sarana) yang selaras, baik secara kualitatif maupun kuantitatif, serta mempertimbangkan aspek internal dan eksternal.Indonesia memiliki tujuan utama untuk mempertahankan kedaulatannya dan memastikan stabilitas serta keamanan di kawasan Asia Tenggara, khususnya di wilayah Laut Cina Selatan. Tujuan ini tentu saja bukanlah aspirasi sementara, melainkan komitmen jangka panjang yang harus dipertahankan dan diwujudkan secara berkelanjutan. Mengambil keuntungan dari persaingan antara AS-RRT di kawasan Laut Cina Selatan, maka cara yang paling efektif bagi Indonesia adalah strategi “hedging”. Strategi “hedging” bertujuan untuk mencegah terlalu dekat atau ketergantungan berlebihan pada satu negara asing.

Indonesia harus mempertahankan keseimbangan strategis dalam interaksinya dengan AS dan RRT, untuk mencegah ketergantungan yang berlebihan terhadap salah satu kekuatan global tersebut. Strategi ini akan efektif dalam mempengaruhi AS dan RRT untuk mencari keterlibatan kolaboratif yang lebih erat dengan Indonesia. Dengan mengandalkan posisi geografis yang strategis serta pertumbuhan ekonomi yang stabil dan berkelanjutan, Indonesia menjadi titik fokus bagi AS dan RRT dalam upaya membangun kemitraan strategis. Kedua negara tersebut, dengan mempertimbangkan pentingnya menjaga keseimbangan pengaruh di kawasan, cenderung akan secara proaktif menawarkan kerjasama kepada Indonesia sebagai langkah preventif agar Indonesia tidak terjebak dalam lingkup pengaruh yang dominan dari salah satu pihak.

Dalam menjalankan strategi “hedging”, alat (means) yang efektif untuk digunakan adalah instrumen nasional DIME (Diplomatic-Diplomasi, Informational-Informasi, Military-Militer, Economic-Ekonomi).Diplomasi adalah kunci utama dalam strategi “hedging” Indonesia. Melalui diplomasi aktif, Indonesia dapat memperkuat hubungan bilateral dan multilateral dengan negara-negara di kawasan dan luar kawasan, termasuk AS dan RRT. Mengambil peran aktif dalam forum-forum regional dan internasional seperti ASEAN, G20 dan Water World Forum, akan memperluas pengaruh diplomatik Indonesia. Upaya diplomatik ini harus difokuskan pada peningkatan dialog, penyelesaian sengketa secara damai, dan promosi stabilitas kawasan. Diplomasi maritim yang kuat juga harus dijalankan untuk mengamankan hak-hak maritim Indonesia di Laut Cina Selatan, termasuk melalui penegakan hukum internasional seperti UNCLOS. Pendekatan diplomatik yang cermat dan bijaksana ini akan memastikan bahwa Indonesia tidak terjebak dalam permainan kekuatan besar, sekaligus meningkatkan peran dan reputasi Indonesia sebagai mediator dan penjamin stabilitas regional.

Instrumen nasional informasi memainkan peran penting dalam membentuk persepsi dan narasi tentang posisi Indonesia di Laut Cina Selatan. Penggunaan media massa, kampanye informasi publik, dan diplomasi publik harus dimaksimalkan untuk menyampaikan pesan bahwa Indonesia berkomitmen pada perdamaian, stabilitas, dan hukum internasional. Perlu adanya pemanfaatan diaspora Indonesia di luar negeri, seperti penerima beasiswa pendidikan seperti LPDP (Lembaga Pengelola Dana Pendidikan) atau perwira TNI yang sedang bertugas di luar negeri untuk meresonansi pesan dari pemerintah Indonesia kepada dunia internasional. Selain itu, penggunaan teknologi maju untuk pengembangan kapasitas intelijen dan pemantauan informasi akan membantu Indonesia dalam mengantisipasi dan merespon ancaman serta dinamika geopolitik secara efektif. Pengelolaan informasi yang baik juga dapat digunakan untuk mengcounter propaganda dan disinformasi yang mungkin digunakan oleh aktor-aktor yang ingin mempengaruhi posisi Indonesia.

Dalam konteks militer, Indonesia dapat menerapkan teori Clausewitz yang menyatakan bahwa perang adalah perpanjangan dari politik dengan cara lain.Ini berarti bahwa kekuatan militer Indonesia harus digunakan sebagai alat diplomasi untuk mendukung tujuan politik dan strategis. Pembangunan kekuatan militer yang kredibel, modern, dan siap tempur akan meningkatkan kemampuan Indonesia untuk mempertahankan kedaulatan dan mengamankan wilayah perairannya. Latihan militer bersama dengan negara-negara lain, terutama dengan AS dan Australia akan memperkuat interoperabilitas dan kapabilitas militer. Namun, Indonesia harus berhati-hati untuk tidak memprovokasi atau menciptakan ketegangan yang berlebihan dengan RRT. Dengan mengadopsi pendekatan defensif yang fleksibel, Indonesia dapat menunjukkan bahwa kekuatan militernya adalah untuk menjaga perdamaian dan stabilitas, bukan untuk agresi, sehingga meminimalkan risiko konflik terbuka.

Ekonomi merupakan elemen penting dalam strategi “hedging” Indonesia. Melalui pertumbuhan ekonomi yang stabil dan pembangunan infrastruktur yang berkelanjutan, Indonesia dapat meningkatkan daya saing dan menarik investasi asing dari berbagai negara, termasuk AS dan RRT. Diversifikasi sumber investasi dan perdagangan akan mengurangi ketergantungan ekonomi pada satu negara tertentu dan memperkuat posisi tawar Indonesia di kancah global. Selain itu, Indonesia harus aktif dalam inisiatif ekonomi regional seperti RCEP (Regional Comprehensive Economic Partnership), sambil memastikan bahwa partisipasi dalam kegiatan ini memberikan manfaat maksimal bagi pembangunan nasional dan tidak menciptakan ketergantungan yang merugikan. Kebijakan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan akan mendukung stabilitas sosial dan politik domestik, yang pada gilirannya memperkuat posisi Indonesia dalam menghadapi dinamika geopolitik di Laut Cina Selatan.

Dalam menghadapi dinamika persaingan antara AS dan RRT di Laut Cina Selatan, Indonesia harus mengimplementasikan strategi hedging yang cermat dan bijaksana. Dengan memanfaatkan kerangka kerja PMESII-PT, Indonesia dapat mengidentifikasi dan menganalisis variabel-variabel penting yang mempengaruhi lingkungan operasionalnya, memungkinkan perumusan kebijakan yang lebih terintegrasi dan efektif. Dalam konteks ini, instrumen nasional DIME menjadi alat yang krusial dalam menjaga kedaulatan dan stabilitas Indonesia. Pendekatan diplomatik yang proaktif, manajemen informasi yang strategis, kekuatan militer yang siap dan kredibel, serta pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan, akan memperkuat posisi Indonesia dalam menavigasi ketegangan di Laut Cina Selatan. Dengan demikian, Indonesia tidak hanya melindungi kepentingan nasionalnya tetapi juga berkontribusi pada stabilitas regional dan global. Pendekatan ini tidak hanya memastikan bahwa Indonesia tetap berdaulat dan mandiri, tetapi juga menjadikannya sebagai mitra yang dihormati dan diandalkan oleh kedua kekuatan global, AS dan RRT, dalam upaya menjaga keseimbangan strategis di kawasan Asia Tengg

 

[i] David Shambaugh, Where Great Powers Meet, America & China in Southeast Asia (New York: Oxford University Press, 2020), hal. 7.

[ii] US Energy Information Administration, Regional Analysis Brief: South China Sea (Washington, DC: US Department of Energy, 2024), hal. 1.

[iii] David Shambaugh, hal. 152.

[iv] US Department of The Army, FM 5-0, Planning and Orders Production (Washington, DC: Department of The Army, 2022), hal. 1-4.

[v] Aaron L. Connelly, Indonesia in the South China Sea: Going it alone (Lowly Institute for International Policy, 2016), hal. 1, http://www.jstor.com/stable/resrep10155

[vi] Ibid., hal. 2.

[vii] Presiden RI, Perpres No. 66 tahun 2019 tentang Susunan Organisasi TNI (Jakarta: Setneg, 2019), hal. 29.

[viii] Menteri Pertahanan RI, Permenhan No. 15 tahun 2022 tentang Kebijakan Pertahanan Negara Tahun 2023 (Jakarta: Kemenhan, 2022), hal. 7.

[ix] US Energy Information Administration, South China Sea, 21 Maret 2024, https://www.eia.gov/international/analysis/regions-of-interest/South_China_Sea.

[x] Aaron L. Connelly, Indonesia in the South China Sea: Going it alone, Lowy Institute, 2 Desember 2016, https://www.lowyinstitute.org/publications/indonesia-south-china-sea-going-it-alone.

[xi] David Shambaugh, hal. 4

[xii] Ibid.

[xiii] Ibid., 5.

[xiv] US Department of State, US Embassy Singapore, Defense Cooperation, 2021, https://sg.usembassy.gov/wp-content/uploads/sites/20/2021/05/DefenseCooperation.pdf.

[xv] America’s Navy, US Navy Destroyer conducts FONOPS in the South China Sea, 3 November 2023, https://www.navy.mil/Press-Office/News-Stories/Article/3578783/us-navy-destroyer-conducts-freedom-of-navigation-operation-in-the-south-china-s/.

[xvi] Harry R. Yarger, Strategic Theory for the 21st Century: The Little Book on Big Strategy (US Government, 2006), hal. 14-15.

[xvii] David Shambaugh, hal. 10.

[xviii] Chairman of the Joint Chiefs of Staff (CJCS), Strategy, Joint Doctrine Note 1-18 (Washington, DC: Joint Chiefs of Staff, April 2018), hal. GL-1

[xix] Carl Von Clausewitz, On War (New Jersey: Princeton University Press, 1989), 87.

Ikuti tulisan menarik yusfi fitrawan lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Antumbra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Antumbra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu