x

Laut Natuna Utara dalam Peta NKRI Edisi Tahun 2017 (Dokumentasi Badan Informasi Geospasial)

Iklan

Reza

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 31 Mei 2024

Sabtu, 1 Juni 2024 11:13 WIB

Ancaman Nyata di Laut Natuna Utara: Mempertahankan Kedaulatan Indonesia di Tengah Pusaran Sengketa Laut China Selatan

Sejak awal Indonesia tidak terlibat dalam perselisihan sengketa Laut China Selatan. Akan tetapi pada 2010 China secara sepihak mengklaim kepemilikan seluruh wilayah perairan Laut Natuna sehingga membuat Indonesia menjadi terlibat dalam sengketa tersebut.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Laut Natuna Utara merupakan wilayah perairan Indonesia yang berada di Kepulauan Natuna dan terletak di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia. Wilayah ini merupakan wilayah maritim Indonesia yang memiliki posisi strategis dan kaya akan sumber daya alam seperti ikan, gas alam, dan minyak bumi. Disisi lain, dari perspektif geopolitik keberadaan Laut Natuna memiliki nilai geopolitik yang signifikan yang dimana perairan ini terletak di jalur strategis yang menghubungkan Samudera Hindia dan Samudera Pasifik sehingga memberikan keuntungan strategis dalam navigasi laut dan perdagangan Internasional.

Meskipun demikian, keberadaan Laut Natuna juga menjadi sebuah tantangan bagi Indonesia khususnya dalam konteks kedaulatan. Kedaulatan Indonesia di Laut Natuna terancam oleh klaim-klaim berlebihan, adanya aktivitas ilegal serta adanya aktivitas militer yang dilakukan oleh negara-negara tetangga di wilayah ZEE Indonesia, khususnya seperti yang dilakukan oleh China. Hal itu dibuktikan oleh aktivitas ilegal yang dilakukan oleh China pada 31 Desember 2019 yang dimana pada saat itu kapal penangkap ikan dan cost guard China diduga memasuki perairan Natuna tanpa izin dan melakukan pelanggaran ZEE seperti melakukan praktik illegal, Unreported and Unregulated (IUU) Fishing di wilayah teritori Indonesia.

Sejak awal Indonesia bukanlah negara pengklaim atas kepemilikan wilayah perairan Laut Natuna dan tidak terlibat dalam perselisihan sengketa Laut China Selatan yang terjadi antara China, Filipina, Brunei, Malaysia, Taiwan dan Vietnam. Akan tetapi pada tahun 2010, China secara sepihak mengklaim kepemilikan seluruh wilayah perairan Laut Natuna sehingga membuat Indonesia menjadi ikut terlibat dalam sengketa tersebut. Klaim yang dilakukan oleh China didasarkan oleh dasar historis yang mengklaim  bahwa perairan Laut Natuna masuk dalam area Sembilan Garis Putus-Putus atau dikenal sebagai Nine Dash Line.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Klaim atas Nine Dash Line yang dilakukan oleh China tentunya menjadi bayang-bayang yang terus membayangi kedaulatan Indonesia hingga saat ini. Sebenarnya, secara hukum klaim yang dilakukan oleh China ini tidak memiliki dasar hukum yang kuat, hal itu disampaikan oleh Iman Prihardono, Ph. D., Ketua FH UNAIR yang menjelaskan bahwa United Nation Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982 telah mengatur metode untuk menentukan zona perairan seperti Delimitasi atau batas wilayah baik itu Laut Teritorial maupun ZEE ditentukan dengan menggunakan metode penarikan Baseline atau Garis Pangkal. Oleh karena itu, klaim yang dilakukan oleh China atas wilayah perairan Laut Natuna yang berdasarkan pada garis imajiner Nine Dash Line dalam menentukan batas maritimnya tidak memiliki dasar hukum. Bahkan pada tahun 2016, Pengadilan Arbitrase Permanen di Den Haag juga telah mengeluarkan putusan bahwa klaim yang dilakukan oleh China atas Nine Dash Line tidak memiliki dasar hukum, akan tetapi China tidak menerima putusan tersebut dan tetap pada pendiriannya atas klaimnya tersebut.

Pelanggaran kedaulatan di Laut Natuna Utara bukan sekedar pelanggaran hukum semata, tetapi menjadi ancaman bagi kedaulatan bangsa Indonesia. Banyaknya aksi pencurian ikan oleh negara-negara tetangga menyebabkan kerugian bagi negara Indonesia baik dari aspek ekonomi maupun ekosistem dari Laut Natuna itu sendiri, menurut Sekjen Kementerian Kelautan dan Perikanan, kerugian negara atas tindakan pencurian ikan oleh nelayan Vietnam di Laut Natuna pada tahun 2020-2021 mencapai 30 triliun Rupiah, tentunya hal tersebut memberikan dampak yang buruk bagi perekonomian Indonesia dan mempengaruhi pendapatan dari para nelayan lokal. Tindakan pencurian yang terjadi tentunya bukan hanya sekedar pencurian biasa, tindakan tersebut secara tidak  langsung menjadi permasalahan atas pelanggaran zona maritim serta pelanggaran hak berdaulat dan kedaulatan yang tidak bisa dibiarkan begitu saja.

Selain tindakan pencurian ikan yang dilakukan oleh nelayan Vietnam, ancaman kedaulatan Indonesia di Laut Natuna juga terancam oleh keseriusan China atas sengketa di Laut China Selatan. Belakangan ini, China diketahui membangung pangkalan militer yang dibangun di wilayah sengketa yaitu Kepulauan Paracel dan Spratly, kedua kepulauan tersebut memiliki letak yang tidak cukup jauh di Utara Kepulauan Natuna yang merupakan bagian dari kedaulatan Indonesia. Berdasarkan laporan dari Recorded Future perusahaan siber swasta yang berbasis di Amerika, mereka memperkirakan pasukan militer China yang ditempatkan di Laut China Selatan mencapai lebih dari 10 ribu. Adanya aktivitas militer yang dilakukan oleh China di kawasan Laut China Selatan ini bukan hanya pertanda bahaya bagi kedaulatan Indonesia,  tetapi juga menjadi ancaman bagi perdamaian dan stabilitas kawasan. Oleh karena itu potensi konflik terbuka di Laut China Selatan bukan hanya mimpi buruk semata, tetapi menjadi konsekuensi nyata yang harus dipersiapkan oleh Indonesia.

Berkaca pada Negara tetangga dalam sengketa di Laut China Selatan , pada tahun 1988 dalam pertempuran antara Vietnam dan  China di  Kepulauan Spratly telah menyebabkan timbulnya banyak korban jiwa berjatuhan dari kedua belah pihak, selain itu konflik yang terjadi antara China dan Vietnam di Kepulauan Paracel juga telah mengakibatkan kerugian ekonomi dan kerugian infrastruktur bagi kedua negara.

Meskipun demikian, Indonesia telah mengambil berbagai upaya untuk menjaga keamanan dan terus berupaya mengelola konflik yang terjadi di wilayah Laut Natuna Utara. Pemerintah terus meningkatkan patroli maritim dengan melibatkan pihak militer seperti TNI-AL dan kepolisian Perairan dengan tujuan untuk mencegah insiden-insiden yang dapat mengancam kedaulatan dan keamanan bangsa. Selain itu, pemerintah juga terus berupaya melakukan diplomasi dengan semua negara yang memiliki klaim di wilayah Laut China Selatan dengan harapan mampu  mencapai solusi yang damai dan adil bagi semua pihak.

Untuk menjaga kedaulatan Indonesia di Laut Natuna Utara, Indonesia perlu melakukan upaya yang komprehensif dan berkelanjutan yang melibatkan berbagai pihak baik itu pemerintah, militer, masyarakat, dan komunitas Internasional. Disisi lain, pemerintah juga harus meningkatkan edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat tentang pentingnya menjaga kedaulatan maritim sehingga masyarakat memiliki kesadaran untuk membangun budaya maritim yang kuat di kalangan masyarakat. Upaya dan kerjasama antara semua pihak tentunya sangat diperlukan untuk menjadikan Indonesia sebagai Negara yang berdaulat.

Ikuti tulisan menarik Reza lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Antumbra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Antumbra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu