x

Dinamika Laut Cina Selatan

Iklan

Dila Istiqomah

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 30 Mei 2024

Sabtu, 1 Juni 2024 12:36 WIB

Laut yang Disengketakan: Konflik dan Diplomasi Kedaulatan Indonesia di Laut Cina Selatan

Laut China Selatan merupakan persilangan paling penting bernilai ekonomis, politis, dan strategis di kawasan Asia Pasifik. Selain letak geografis dan sumber daya alam yang melimpah, kawasan ini berada di antara sepuluh negara sehingga rawan sengketa.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Gelar Heaven of Earth yang dinobatkan untuk Indonesia, nyatanya sering menjadi momok untuk negeri yang memiliki sumber daya alam melimpah  ini. Berita yang masih hangat diperbincangkan, kedaulatan Indonesia dinyatakan dalam kondisi terancam karena adanya Geopolitik Laut Cina Selatan. Stabilitas Geopolitik Laut China Selatan terancam dari berbagai gangguan seperti klaim daerah atau kawasan di Laut China Selatan oleh beberapa negara ASEAN maupun Non ASEAN. Ketidakstabilan Geopolitik Laut Cina Selatan juga menjadi momok tersendiri terhadap keadaan dan kedaulatan negara Indonesia.

Secara geografis, Laut China Selatan (LCS) berada di Pasifik Barat yang sebagian besar wilayahnya berada tepat di antara negara-negara Asia Tenggara. Kawasan dengan luas sekitar 3,5 juta kilometer persegi ini disebut sebagai laut “setengah tertutup” karena dikelilingi daratan. Sebelah Barat ke arah Selatan Laut China Selatan berbatasan dengan Vietnam, Kamboja, Thailand, dan Malaysia Barat. Sebelah Timur berbatasan dengan Filipina, dan di sebelah selatan berbatasan dengan Indonesia dan Malaysia Timur. Hanya dua negara di luar Asia Tenggara yang berbatasan dengan Laut China Selatan, yakni Republik Rakyat China (RRC) dan Taiwan di sebelah Utara.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Laut China Selatan memiliki empat kelompok gugus kepulauan: Paracel, Spratly, Pratas, dan Macclesfield. Dari keempat gugus kepulauan ini, Spratly dan Paracel paling sering menjadi sengketa karena klaim multilateral. Pada Desember 1947, RRC menerbitkan peta yang tak hanya memuat kepulauan-kepulauan utama di wilayah Laut China Selatan, tetapi juga sebelas garis putus-putus yang meliputi hampir seluruh wilayah Laut China Selatan.  Pada tahun 1950-an dua garis putus-putus dihilangkan sehingga menjadi sembilan (Nine Dash Line). Berdasarkan peta ini, Republik Rakyat China mengklaim kawasan Kepulauan Spratly dan Paracel miliknya. Dengan adanya Klaim Nine Dash Line (NDL) beberapa negara anggota Association of South East Asian Nations (ASEAN) terlibat konflik dengan Cina diantaranya Malaysia, Singapura, Vietnam, Filipina, dan Brunei Darussalam.

China dinyatakan telah merebut sejumlah Pulau Xisha (Paracel) pada tahun 1909. Dua pulau lain, Pulau Itu Aba (Spratly) dan Pulau Phu Lan (Paracel), direbut China pada tahun 1946. Agresivitas China terus berlanjut, pada tahun 1950-an China merebut Pulau Hoang Sa (Paracel) dan perebutan itu diulang pada tahun 1974 dengan cara kekerasan. Selain klaim kedaulatan oleh China, sumber daya mineral berlimpah seperti minyak dan gas bumi di Kepulauan Spratly dan Paracel diyakini menjadi salah satu faktor akar sengketa. Konflik di Laut China Selatan khususnya Kepulauan Spratly mencuat pada dekade 1970-an setelah krisis minyak tahun 1973. Situasi saling klaim antarnegara di sekitar Laut China Selatan ini mengancam stabilitas kawasan.

Berbagai insiden bersenjata pernah terjadi di Laut China Selatan seperti konflik China dan Vietnam di Johnson South Reef (1988), pendudukan China atas Karang Mischief (1995), dan baku tembak antara kapal perang China dan Filipina di dekat Pulau Campones (1996). Insiden bersenjata ini menunjukkan sengketa di Laut China Selatan bisa tersulut menjadi konflik terbuka kapan saja.

Walaupun Indonesia tidak turut terlibat dalam kericuhan konflik di Kepulauan Spratly, Indonesia memiliki catatan konflik di Laut China Selatan dengan RRC. Masalah utama terkait masalah Landas Kontinen dan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE). Peta RRC tahun 1947 yang meliputi Pulau Hainan sampai ke Teluk Kalimantan tidak sesuai Landas Kontinen dan ZEE Konvensi Hukum Laut Internasional 1982. Konflik Indonesia-RRC terpusat pada klaim Laut Natuna. Bagi RRC, Laut Natuna sangat penting karena merupakan jalur pelayaran penting penghubung komunikasi Utara-Selatan, dan Timur-Barat. Ancaman RRC terhadap kedaulatan Indonesia di Laut Natuna semakin nyata saat insiden tahun 2016. Pada 20 Maret 2016, kapal pengawas perikanan Hiu 11 gagal menangkap kapal ikan ilegal KM Kway Fey 10078 asal China karena dikawal kapal patroli Tiongkok sewaktu mencuri ikan.

Setelah insiden Hiu 11 dengan KM Kway Fey 10078, sejumlah kapal China ditangkap oleh Kapal TNI AL. Ketegangan kembali mewarnai sejumlah proses penangkapan salah satunya saat KRI Imam Bonjol menangkap kapal Tiongkok bernomor lambung 19038 pada 17 Juni 2016. Dalam penangkapan itu kapal penjaga pantai RRC sempat mengejar dan meminta kapal nelayan tersebut dilepaskan. Peristiwa lain terjadi pada akhir Mei 2016, saat KRI Oswald Siahaan menangkap kapal Gui Bei Yu di Laut Natuna. Penangkapan Gui Bei Yu disikapi keras oleh Pemerintah RRC yang menegaskan kapal tidak melanggar hukum Indonesia karena ada di wilayah penangkapan tradisional Tiongkok.

 Melihat potensi LCS secara Geografi, SDA dan Ekonomi, tentu saja banyak wilayah atau kawasan di LCS diperebutkan/dipersengketakan oleh beberapa Negara ASEAN dan Asia Timur. Maka dari itu, Indonesia sebagai penggagas pembentukan Komunitas Keamanan ASEAN (ASEAN Security Community) yang ditandatangani di Senggigi, Lombok pada 12 September 2003 menjadi kunci dalam menjaga keamanan dan ketertiban kawasan ASEAN khususnya LCS, dengan cara melaksanakan Diplomasi Pertahanan antar Negara ASEAN maupun luar lingkup ASEAN. Keberhasilan dalam menciptakan dan memantapkan stabilitas geopolitik di Asia Tenggara telah menjadi tujuan utama ASEAN sejak berdirinya deklarasi tersebut hingga saat ini. Salah satunya adalah Treaty of Amity and Cooperation (TAC). Dan pada KTT ke-25, ASEAN menyambut hangat keinginan berbagai pihak non-ASEAN untuk bergabung dalam TAC, dan ASEAN menganggap penting untuk menyinergikan berbagai proposal keamanan di kawasan. (Kementerian Luar Negeri, 2014)

Dalam Kebijakan Pertahanan Negara Tahun 2020, adalah pembangunan pertahanan tahunan, yang ditetapkan setiap lima tahun sekali dan diperlukan untuk mengelola seluruh sumber daya nasional dan infrastruktur nasional untuk mencapai tujuan pertahanan negara tujuan pembangunan nasional, berpedoman pada Sistem Pertahanan dan Keamanan Rakyat Global, tujuan politik yang dimaksud pada poin 3 adalah: untuk memperkuat posisi Indonesia sebagai kekuatan regional dari segi konsep. Konsep sentral ASEAN, memperkuat kerja sama pertahanan dengan mengutamakan negara tetangga yang berbatasan langsung, kepada negara-negara Perhimpunan Tenggara. Asia. Negara-negara (ASEAN) dan kawasan Pasifik Selatan serta negara-negara yang memiliki hubungan kerja sama pertahanan dengan Indonesia untuk kepentingan nasional. Memperkuat kerja sama keamanan maritim melalui latihan bersama yang berkelanjutan untuk memperkuat arsitektur keamanan regional, khususnya di Laut Cina Selatan South China Sea Declaration of Action (DoC) telah sangat berhasil dalam menyelesaikan sengketa, namun pendekatan ini belum memberikan penyelesaian sengketa jangka panjang. Pendekatan bilateral yang diprakarsai oleh China dalam situasi lain di tingkat First Track Diplomacy juga memiliki keterbatasan. Pendekatan ini, yang cenderung memecah belah dan mendominasi negara-negara kawasan, melayani kepentingan jangka panjang China. Kedua, kebijakan China yang semakin keras mengenai perselisihan ini akan bertentangan dengan pendekatan bilateralnya. Memikirkan batas-batas diplomasi jalur pertama yang dipimpin oleh ASEAN, Indonesia dan China adalah pendekatan yang mungkin untuk dihadapi, jika mengacu pada teori diplomasi multi-jalur, ada banyak kemungkinan potensi jika dikaitkan dengan dan memberdayakan potensi lain. . tingkat diplomatik yang ada. Dalam hal ini, Second Track Diplomacy merupakan salah satu potensi untuk mendukung dan menutupi keterbatasan yang ada pada diplomasi lini pertama.

Latihan Angkatan Laut Multilateral Komodo (MNEK) adalah kegiatan diplomasi maritim Indonesia yang tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan kerja sama dengan angkatan laut mitra dalam operasi militer dan non-militer, seperti bantuan penyelamatan bencana dan evakuasi medis. Latihan Komodo dimaksudkan untuk mempersiapkan diri mendukung perdamaian dan menjaga stabilitas di kawasan dan di seluruh dunia. Salah satu kegiatan Diplomasi Lanjutan (STRAD) kedua yang dilakukan TNI AL adalah simposium pelatihan. Latihan Angkatan Laut Multilateral Komodo (MNEK) 2014 diselenggarakan di Kota Batam, Kepulauan Natuna dan Kepulauan Anambas, dengan partisipasi 4.800 personel TNI Angkatan Laut dan 27 kapal Indonesia, termasuk Amerika Serikat dan China , serta negara anggota ASEAN dan negara lainnya. Seperti Jepang , India, Korea, Australia, Rusia hingga Selandia Baru. Selama MNEK 2014, fokus pembahasan atau fokus utama penyelenggaraan Joint Exercise Komodo 2014 difokuskan pada penanggulangan bencana dan krisis kemanusiaan, seperti pengalaman Indonesia terhadap tsunami Aceh tahun 2004. Selanjutnya, MNEK 2016 mempertemukan 38 marinir dari negara sahabat dan diselenggarakan di Padang Mentawai, Sumatera Barat. Kegiatan ini digabung dengan 15th Western Pacific Naval Symposium (WPNS) dan International Fleet Review (IFR) 2016 yang dihadiri oleh Presiden Republik Indonesia, Ir. H.Joko Widodo. Kerja sama untuk meningkatkan keamanan maritim internasional berfokus pada latihan bersama non-perang untuk memperkuat dan menyelaraskan kepentingan bersama dengan meningkatkan interoperabilitas antar angkatan laut, untuk menjaga stabilitas keamanan maritim regional. Latihan ini memungkinkan militer secara keseluruhan, tanpa menggunakan senjata, untuk mengoordinasikan program mereka dengan lebih baik dan mampu mengatur diri sendiri dalam penyelesaian konflik di Laut Cina Selatan. Pada MNEK kedua, para peserta juga berkolaborasi untuk melakukan Medical Citizenship Action Program (MEDCAP) dan Technical Citizenship Action Program (ENCAP) di Siberut Island, Indonesia.

Pada MNEK kedua tahun 2016, TNI AL juga menjadi tuan rumah penyelenggaraan Western Pacific Naval Symposium (WPNS) ke-15 dengan tema “Maritime Partnership for Regional Stability” Western Pacific. Semua negara mengakui bahwa mereka tidak dapat menghadapi tantangan sendirian. WPNS merupakan forum penting untuk mewujudkan kerjasama maritim regional yang membutuhkan landasan yang kokoh dan rasa saling percaya antar bangsa atau angkatan laut. WPNS juga merupakan bukti efektifitas Second Track Diplomacy TNI AL. Kunci keberhasilan diplomasi dalam mengembangkan rasa saling percaya terletak pada pengembangan rasa saling percaya para pihak dan kerjasama damai yang saling menguntungkan. Simposium ini merupakan salah satu contoh Second Track Diplomacy yang telah dilakukan selama ini dan kemungkinan besar dapat membantu penyelesaian sengketa yang sedang berlangsung dalam jalur First Track Diplomacy. Setidaknya ada dua alasan penting yang menjadi dasar Second Track Diplomacy dalam menyelesaikan konflik ini. Pertama, dengan menekankan dalam simposium ini bahwa Second Track Diplomacy memberikan kesempatan kepada pihak-pihak yang berkonflik untuk hadir dalam kapasitasnya sendiri dan menyampaikan pendapat secara terbuka, keterbukaan tanpa tekanan, seperti yang terjadi dalam Fisrt Track Diplomacy. Alasan kedua. pentingnya Simposium ini sebagai fasilitator potensial untuk penyelesaian sengketa yang melibatkan Indonesia sendiri sebagai negara tuan rumah. Selain fakta bahwa Indonesia bukan negara pengklaim, yang membuat posisi konsiliasinya lebih dapat diterima semua pihak, Indonesia juga berperan sebagai pemimpin normatif di kawasan yang sering dipercaya untuk menengahi perselisihan.

Presiden Joko Widodo secara simbolis memberikan sikap Indonesia terhadap kedaulatan di Laut Natuna dengan mengadakan rapat terbatas di atas Kapal Republik Indonesia Imam Bonjol yang berlayar di perairan Natuna, Provinsi Kepulauan Riau pada 23 Juni 2016. Rapat ini menegaskan pentingnya menegakkan wilayah kedaulatan negara. Menyikapi ancaman kedaulatan Republik Indonesia, khususnya di Laut China Selatan, Pemerintah RI merilis peta Negara Kesatuan Republik Indonesia yang telah diperbarui pada 14 Juli 2017. Pada peta ini Laut Natuna berganti nama menjadi Laut Natuna Utara (LNU) .

Pengubahan nama sebagian ruang laut di utara Kepulauan Natuna menjadi Laut Natuna Utara diprotes China melalui nota diplomatik yang dilayangkan Kementerian Luar Negeri China kepada Kedutaan Besar Republik Indonesia di Beijing. Dalam nota yang dikeluarkan tanggal 25 Agustus 2017 tersebut tertuang 3 butir sikap RRC yang salah satunya berisi penolakan terhadap nama LNU.

Dari perspektif hukum, posisi Indonesia lebih kuat dibandingkan China. Klaim China di LNU berlandaskan pada sembilan garis putus-putus yang sudah divonis ilegal oleh Mahkamah Arbitrase Internasional (PCA), sementara Indonesia bersandar pada UNCLOS. Meski demikian, hingga saat ini ketegangan di wilayah LNU masih terjadi.

Pada lawatan Presiden Joko Widodo ke tiga negara ASEAN pada awal tahun 2024, salah satu isu penting yang dibahas mengenai politik-keamanan, ekonomi, dan kawasan salah satunya perkembangan di Laut China Selatan. Hampir seluruh perairan LCS di klaim oleh China. Sebagian klaim tumpang tindih dengan wilayah Brunei, Malaysia, Filipina, dan Vietnam.

Posisi Indonesia dalam sengketa LCS bukan pihak pengklaim, tetapi beberapa kali ketegangan terjadi dengan China dalam isu Laut Natuna Utara. Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi menyatakan, posisi Indonesia dalam isu Laut China Selatan sangat jelas dan berulang kali dinyatakan pada publik: di bawah Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa - Bangsa (PBB) 1982 (UNCLOS 1982), tidak ada klaim tumpang tindih. Tak ada yang perlu dinegosiasikan dengan Beijing.

Melihat Diplomasi Pertahanan yang diterapkan Indonesia menggunakan Second Track Diplomacy dengan Multilateral Naval Exercise Komodo sebagai kegiatan latihan antar Negara ASEAN maupun Non ASEAN untuk menjaga stabilitas kemanan dan latihan penyelamatan bencana, seharusnya stabilitas keamanan wilayah LCS dapat terjaga. Kedaulatan merupakan hal yang vital bagi sebuah negara. Kedaulatan bisa mempengaruhi hajat hidup warga bahkan keberlangsungan sebuah negara. Atas dasar itu, sebagai rakyat Indonesia kita harus  mendorong peran langsung dari presiden dalam upaya menjamin dan menegakkan kedaulatan di Natuna Utara, juga wilayah-wilayah perbatasan lain.

Ikuti tulisan menarik Dila Istiqomah lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Antumbra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Antumbra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu