x

Iklan

Bima Baskara Sakti

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 31 Mei 2024

Sabtu, 1 Juni 2024 18:39 WIB

Diplomasi, Kunci Mempertahankan Kedaulatan Wilayah Laut Indonesia

Upaya penyelesaian sengketa laut China Selatan dengan mengandalkan kekuatan militer bukanlah sebuah pilihan strategis. Sejarah menunjukkan bahwa upaya semacam itu hanya akan berujung pada ekskalasi konflik yang meluas sehingga berujung pada kerugian kemunduran peradaban dunia. Berkaca dari pengalaman tersebut, jalan diplomasi selayaknya dikedepankan sebagai kunci untuk membuka kebuntuan yang terjadi dalam sengketa di Laut China Selatan guna mempertahankan kedaulatan wilayah laut Indonesia.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

"The greatest victory is that which requires no battle".

(Tsun Zu, 544-496 SM).

 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kemenangan terbesar adalah kemenangan yang tidak memerlukan perang. Kutipan dari karya klasik berjudul The Art of War karya Jenderal militer asal China tersebut menjadi relevan ketika dikaitkan dengan dampak yang terjadi pada konflik yang berujung peperangan. Terlebih, jika ekskalasi peperangan meluas hingga melibatkan banyak negara. 

Sejarah perang dunia II menunjukkan fakta tersebut. Merujuk laman The National World War II Museum, New Orleans, Perang yang berakhir tahun 1945 tersebut telah menghilangkan nyawa 60 juta orang di seluruh dunia. Perang Dunia Kedua bertanggung jawab atas kematian sekitar 3,76 persen populasi dunia antara tahun 1939 dan 1945. 

Lebih terinci, Saut Pasaribu dalam bukunya berujudul History of The World War (2018) menulis nilai kerugian militer akibat perang dunia II mencapai di atas 1 trilliun dollar AS. Sementara, kerugian materi diperkirakan nyaris mencapai 800 miliar dollar AS akibat perang tersebut.

Perang Rusia-Ukraina yang bermula dari konflik tapecah pada Februari 2022 juga memunculkan fakta potensi kerugian yang memprihatinkan. Studi dari Institut Perekonomian Global (IfW) dan Universitas Tübingen di Jerman yang dipublikasi 14 Februari 2024 memproyeksikan bahwa Ukraina berpotensi mengalami kerugian ekonomi senilai USD 120 miliar jika perang berlangsung hingga tahun 2026.

Selain itu, Ukraina juga akan mengalami kerugian hampir satu triliun dollar AS akibat rusaknya aset-aset ekonomi di negara tersebut. Masih menurut riset yang sama, perang Rusia-Ukraina juga akan menimbulkan kerugian perdagangan bagi negara-negara Uni Eropa hingga 70 miliar Dollar AS. Penting untuk dicatat bahwa perang Rusia-Ukraina ini belum menghitung dampak kerugian korban jiwa. 

 

Konflik Laut China Selatan

Konflik yang berpotensi meningkat menjadi perang tak hanya terjadi antara Rusia-Ukraina. Di Asia, ketegangan terjadi antara China dengan Taiwan dan lima negara lain di Asia Tenggara yang terhimpun dalam ASEAN (Association of Southeast Asian Nations).  

Secara kronologis, konflik di Laut China Selatan (LCS) mulai muncul ketika China yang secara sepihak mengklaim hampir seluruh wilayah LCS dengan menerbitkan peta yang memberi tanda sembilan garis putus-putus di seputar wilayah perairan tersebut. Klaim sepihak yang dimulai China sejak 1947 tersebut melanggar teritori wilayah perairan Filipina, Malaysia, Vietnam, Taiwan, dan Brunei Darussalam. 

Sampai di situ, Indonesia sebenarnya tidak terlibat dalam pusaran konflik LCS. Namun, Indonesia kemudian terdampak oleh LCS setelah China diketahui secara sepihak juga mengklaim seluruh perairan Laut Natuna pada 2010.

Pada 31 Desember 2019, Kapal penangkap ikan dan coast guard China juga diduga memasuki Perairan Natuna tanpa izin pada 31 Desember 2019. China juga diketahui melakukan praktik Unreported and Unregulated (IUU) Fishing di wilayah teritori laut Indonesia.

Klaim Indonesia atas perairan Laut Natuna jelas memiliki dasar yang kuat.  Indonesia, termasuk China, seharusnya tunduk di bawah Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) 1982 (UNCLOS 1982). Sementara, China mendasarkan penentuan sembilan garis putus-putus hanya berdasarkan klaim historis. 

China mendasarkan aspek sejarah itu dengan mengutip catatan sejarah sekitar 2 ribu tahun yang lalu, ditambah dengan pola penangkapan ikan masyarakat China yang sudah berlangsung selama berabad-abad. Akan tetapi, keputusan mahkamah arbitrasi dunia pada bulan Juli tahun 2016 menyatakan bahwa China tidak mempunyai dasar hukum atas klaim tersebut.

Namun, China tetap berkeras dengan landasan sejarah tersebut. Pada Agustus-Oktober 2021, kapal survei China, Haiyang Dizhi 10, terpantau beroperasi di Laut Natuna Utara (LNU). Kemudian, sejumlah nelayan tradisional melaporkan keberadaan dengan enam kapal China pada 13 September 2021. Satu dari enam kapal yang melayari LNU itu adalah destroyer Kunming-172.  China juga meminta Indonesia menghentikan kegiatan hulu migas yang dilakukan pada 2021. 

 

Kewaspadaan Nasional

Konflik di kawasan LCS masih terus bergulir hingga kini. Salah satu buktinya, pada 5 Maret 2024 Kapal penjaga pantai China dan kapal BRP Sindangan Filipina bertabrakan di Laut Cina Selatan yang tengah disengketakan.

Insiden itu mengakibatkan situasi di kawasan LCS kembali memanas. Fenomena tersebut juga menyiratkan pesan bahwa kedaulatan wilayah laut tetap menjadi isu krusial bagi Indonesia. 

Sejauh ini, berbagai upaya telah dilakukan pemerintah untuk mempertahankan kedaulatan wilayah laut Indonesia. Upaya penegasan secara diplomatis telah dilakukan pemerintah Indonesia dengan mengubah nama Laut China Selatan di kawasan Natuna menjadi Laut Natuna Utara pada tahun 2017, lewat penerbitan peta baru kawasan NKRI. 

Upaya itu mempertegas kedaulatan wilayah juga dilakukan Indonesia dengan menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 41 Tahun 2022 tentang Rencana Zonasi Kawasan Antar Wilayah Laut Natuna-Natuna Utara. Pada awal 2023, Indonesia kembali menegaskan kepemilikan atas kawasan Laut Natuna Utara dengan rencana pengembangan kegiatan hulu Migas di Wilayah Kerja (WK) Tuna yang akan dioperasikan perusahaan asal Inggris, Premier Oil. 

Tindakan yang diambil Indonesia sejauh ini terbilang aman. Hal ini mengingat China bereaksi lebih jauh atas upaya yang dilakukan Indonesia tersebut.  

Kendati demikian, Indonesia masih perlu terus mewaspadai munculnya potensi konflik di kawasan ini. Pemerintah China sangat mungkin akan terus melanjutkan usahanya mewujudkan klaim sebilan garis putus-putus di kawasan LCS.

Hal itu mungkin terjadi mengingat sumber daya laut di kawasan LCS tak bisa dipandang sebelah mata. Perairan ini tak hanya kaya akan sumber daya perikanan laut. Lebih dari itu, kawasan LCS diproyeksi memiliki cadangan minyak dan gas hingga 11 miliar barel minyak dan 190 triliun kaki kubik gas alam yang belum dimanfaatkan. 

Potensi konflik ke depan di kawasan LCS juga tidak lepas dari ambisi besar negeri tirai bambu untuk menghidupkan kembali jalur sutra. Pemerintah China sudah menggaungkan inisiatif The 21st Maritime Silk Road (MSR) - One Road One Belt untuk menghidupkan kembali Jalur Sutra kuno yang memiliki sejarah sejak 130 SM pada masa Dinasti Han.

Ini adalah rencana strategis, politik dan ekonomi yang ambisius dengan potensi menciptakan model pertumbuhan baru yang membentang dari Asia, Timur Tengah hingga ke Eropa. Realisasi MSR akan melibatkan lebih dari 65 negara – termasuk Indonesia – di tiga benua, 60 persen populasi dunia dan diproyeksi berdampak pada setengah dari nilai PDB dunia.

 

Pentingnya Diplomasi

Ambisi besar China tersebut menuntut Indonesia untuk terus memantapkan posisi kedaulatan wilayah lautnya. Dalam konteks tersebut, jalur diplomasi politik dapat menjadi cara efektif untuk mencegah agar konflik tidak semakin memanas.

Jalur diplomasi perlu dilakukan dengan sesama negara ASEAN khususnya Malaysia, Filipina, Brunei Darussalam dan Vietnam yang juga tengah menghadapi sengketa kawasan LCS. Kesamaan kepentingan akan mempermudah Indonesia untuk menyatukan visi kedaulatan laut dan saling tolong-menolong antarsesama negara anggota ASEAN.

Pendekatan diplomatik juga perlu dibangun dengan Pemerintah China. Hal ini mengingat keamanan pelayaran jalur perdagangan China pun memerlukan dukungan Indonesia dan negara-negara anggota ASEAN. Dalam aspek keamanan pelayaran ini, Indonesia masih memiliki daya tawar kuat terhadap China meskipun Indonesia memiliki ketergantungan perdagangan terhadap negeri tirai bambu tersebut. 

Posisi daya tawar Indonesia dalam hal keamanan pelayaran akan lebih kuat membangun diplomasi dan kerjasama militer dengan Amerika Serikat. Posisi AS yang berseberangan dengan China menjadi faktor tersendiri yang bisa membuat China memilih menyelesaikan konflik tanpa perang. 

Pada akhirnya, berbagai langkah kongkrit yang sudah dilakukan Pemerintah Indonesia akan berjalan lebih efektif dengan dukungan nyata dari segenap elemen bangsa. Langkah Pemerintah dan warga di Kabupaten Natuna yang telah menyatakan dukungan atas rencana peningkatan kegiatan hulu migas di wilayahnya, adalah salah satu contohnya.

Upaya-upaya pelibatan masyarakat kawasan perbatasan laut secara aktif pada satu sisi diikuti langkah mempertahankan kerjasama ekonomi dengan China pada sisi lain, adalah salah satu bentuk diplomasi yang efektif. Diplomasi ini memberikan pesan tegas bahwa Indonesia akan tetap mendukung kepentingan ekonomi China dengan tetap mempertahankan wilayah kedaulatan laut negeri ini di masa mendatang. (Bima Baskara Sakti)

Ikuti tulisan menarik Bima Baskara Sakti lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Antumbra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Antumbra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu