x

Hariadi Kartodihardjo

Iklan

Untung Widyanto

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 7 Agustus 2021

Rabu, 5 Juni 2024 07:13 WIB

Obituari Hariadi Kartodihardjo: Akademisi yang Punya Nyali Berantas Korupsi Sumber Daya Alam

Hariadi Kartodihardjo resah karena pesan tertulis bernada ancaman diterima anaknya. Guru Besar IPB ini memang membantu KPK membenahi tata kelola izin kehutanan. Sebelum wafat, dia risau menyaksikan perkembangan politik lima tahun terakhir dimana ruang publik makin berkurang dan lemahnya kelompok masyarakat sipil.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Obituari Hariadi Kartodihardjo: Akademisi yang Punya Nyali Berantas Korupsi Sumber Daya Alam

Pesan tertulis bernada ancaman masuk ke telepon seluler Hariadi Kartodihardjo.  Guru Besar Kebijakan Kehutanan IPB University  ini tenang-tenang saja dengan pesan semacam itu. Baginya ancaman tersebut merupakan risiko dari sikapnya yang kritis terhadap praktik korupsi di sektor kehutanan.  Pada saat itu, Hariadi menjabat sebagai Ketua Tim Kajian Tata Kelola Perizinan Bidang Kehutanan dalam Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam yang dikoordinasikan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Namun, beberapa waktu kemudian, pesan ancaman serupa  masuk ke ponsel anaknya. Hariadi kemudian menemui Dr Laode Muhammad Syarif yang menjabat sebagai Wakil Ketua KPK  periode 2015-2019. “Beliau mengaku tidak nyaman karena keluarganya yang jadi korban,” kata Laode Syarif pada 2 Juni 2024. KPK menelusuri lokasi orang yang mengirim pesan ancaman tersebut. Ternyata berada di satu provinsi di Sumatera dan tidak diketahui identitasnya karena menggunakan nomor sekali pakai.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Laode Syarif kagum  dengan peran dan perjuangan Hariadi membantu KPK. Oleh karena itu dia merasa kehilangan dengan wafatnya Prof. Dr. Hariadi Kartodihardjo di kediamannya pada Ahad pagi, 2 Juni 2024. Laode Syarif takziah ke rumah duka almarhum di Bogor. “Beliau ini sosok yang langka. Sangat sedikit akademisi yang serius  dan punya nyali membantu KPK,” ujar Syarif yang kini menjadi Direktur Eksekutif Kemitraan.

Memang, selain Hariadi, ada dua akademisi dari IPB yang membantu dan menjadi nara sumber KPK, yaitu Prof Dr Bambang Hero Saharjo dan Dr Basuki Wasis. Keduanya adalah junior Hariadi di Fakultas Kehutanan dan Lingkungan Hidup IPB. Keduanya selalu menjadi saksi ahli yang diajukan KPK dan kejaksaan dalam kasus kebakaran hutan dan lahan. Mereka sering mendapat ancaman, bahkan pernah digugat ke pengadilan oleh  perusahaan perkebunan sawit, PT Jatim Jaya Perkasa dan Nur Alam (Gubernur Sulawesi Tenggara yang didakwa KPK).

Tiga serangkai itu menjadi sahabat KPK. Lembaga antirasuah ini kesulitan mencari akademisi lainnya yang bersedia menjadi saksi ahli dan nara sumber. “Mungkin faktor penyebabnya karena honor yang sedikit dan adanya risiko diancam atau tekanan dari pelaku kejahatan,” kata Laode Syarif.  KPK membayar honor mereka relatif kecil,  sesuai dengan standar biaya umum yang diatur Kementrian Keuangan. Sementara, akademisi atau aktivis yang menjadi konsultan atau tenaga ahli di perusahaan sawit atau tambang, honor yang diperoleh bisa mencapai puluhan atau ratusan juta rupiah.

Hariadi pernah bercerita ke Bambang Hero Saharjo soal pengalamannya menjadi saksi ahli di persidangan kasus kebakaran hutan. “Beliau mengeluh kok bersaksi hanya 10 menit saja,” kata Bambang Hero yang pernah diajar Hariadi ketika kuliah S1 di IPB University. Rupanya hakim bertanya apakah saksi ahli harus ke lapangan atau tidak.  Hariadi yang lahir di Jombang 66 tahun lalu itu menjawab tidak kepada hakim ketua.

 

Akademisi yang Kritis dan Berpihak    

Bambang Hero menjelaskan dirinya mendapat tugas dari Hariadi untuk meneliti dan mengumpulkan bukti dari  kasus kebakaran hutan di Riau dan Kalimantan Barat. Saat itu (1999-2001), Hariadi diberi kepercayaan sebagai Deputi Pengendalian Kerusakan Lingkungan, Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (Bapedal)/Kementerian Lingkungan Hidup, sedangkan menterinya adalah Sonny Keraf (politikus PDI Perjuangan).  “Beliau meminta kami mengumpulkan bukti-bukti ilmiah di lapangan,” ujar Bambang Hero. Berdasarkan bukti dan data-data itu, Polda menangani unsur pidana kasus yang melibatkan perusahaan swasta. Ini kasus pertama kebakaran hutan dan lahan yang maju ke pengadilan. Sejak itu, KLH selalu meminta Bambang Hero dan Basuki Wasis (asistennya) menjadi tim penyelidik dan saksi ahli.

Sebagai pejabat eselon satu,  Hariadi tetap bersuara kritis terhadap penyimpangan yang terjadi di jajaran pemerintahan. Dia mengkritik rencana Menteri Kehutanan Nurmahmudi Ismail  membentuk Badan Pengelola Kehutanan (BPK) di daerah. Menurutnya, kebijakan itu tidak tepat sasaran dan tak akan menyelesaikan masalah di sektor kehutanan yaitu eksploitasi hutan yang melebihi beban serta hak masyarakat terhadap pengelolaan hasil hutan. “Semua masalah itu hingga saat ini belum tersentuh, kok malah membentuk badan baru?” ujar Hariadi Kartodihardo saat itu.

Nabiel Makarim kemudian diangkat sebagai Menteri Negara Lingkungan Hidup  pada 10 Agustus 2001. Nabiel menggabungkan Bapedal ke dalam kementrian. Langkah ini diprotes aktivis lingkungan hidup karena melemahkan upaya pengawasan atau sama saja dengan membubarkan lembaga tersebut.

Selama ini, Bapedal menjalankan fungsi regulatory yang tidak bisa dilakukan oleh menteri negara. Misalnya, merumuskan kebijakan teknis, memberikan izin, mengawasi, menjatuhkan sanksi,  dan bahkan melakukan penyelidikan. Hariadi mundur dari jabatannya sebagai deputi karena tidak sejalan dengan langkah Nabiel Makarim. “Meskipun di dalam pemerintahan, sikap kritis dan integritasnya tetap kuat,” kata Laode Syarif.

Dalam karyanya di forestdigest.com, Hariadi  menyoroti kebijakan kebebasan akademik yang tidak mampu mewujudkan sikap kritis di kampus. Salah satu penyebabnya karena kewajiban administrasi yang berlebihan tanpa manfaat bagi pengembangan profesi. Selain itu pengajar cenderung apatis terhadap daya guna ilmu pengetahuan untuk memperbaiki kebijakan. Umumnya mereka meneliti sekadar menjalankan kewajiban.

Menurut Hariadi,  para ilmuwan di bidang kebijakan publik harus mampu mengadvokasi berbagai persoalan. Meski objektivitas perlu dalam penelitian ilmiah, tidak berarti para ilmuwan harus netral dan apolitis. “Mereka justru harus memihak atau menjalankan nilai-nilai untuk mewujudkan keadilan dan kemanusiaan bagi masyarakat luas,” katanya mengakhiri tulisan opininya.

Di dalam naskah orasi ilmiahnya (2016), Hariadi telah menyinggung hal itu. Sesungguhnya, Hariadi melakukan autokritik terhadap institusi pendidikan tinggi serta akademisi sebagai perorangan dan lembaga. Suraya Afiff menjelaskan naskah orasi ilmiah Hariadi ini tidak lain adalah sebuah posisi bagaimana seorang rimbawan atau forester melakukan kritik pada paradigma keilmuan kehutanannya. “Hal ini sangat penting mengingat keberadaan sumberdaya hutan yang sangat besar, tetapi belum mampu mengentaskan kemiskinan, bahkan hingga saat ini cenderung lebih memiskinkan masyarakat dan merusak lingkungan,” kata Suraya, antropolog Universitas Indonesia. Belum tentu kami sebagai antropolog, ujarnya, mampu memberikan dan melakukan kritik pada kami sendiri sebagai akademisi yang bergelut di bidang antropologi.

Hariadi juga ikut menandatangani petisi kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Joko Widodo terkait banyaknya konflik agraria dan isu penanganan krisis ekologi dan sosial di Pulau Jawa. Pada 3 Februari 2024, Hariadi membacakan pernyataan sikap serta seruan untuk demokrasi bermartabat. Pernyataan ini dibuat oleh Forum Keluarga Besar IPB University. Seruan semacam ini juga disampaikan oleh guru besar dan staf pengajar Universitas Gadjah Mada, Universitas Indonesia, ITB, Univesitas Airlangga dan kampus negeri serta swasta di berbagai daerah.   

 

Bergaul dengan Aktivis Masyarakat Sipil

Selain menjadi dosen muda di IPB (mulai 1982), Hariadi banyak belajar dari teman-teman organisasi non-pemerintah (lembaga swadaya masyarakat/LSM) dan akademisi lainnya. Pada 1993, Hariadi membantu Prof. Emil Salim dan timnya memprakarsai terbentuknya Kelompok Kerja Ekolabel Indonesia yang kemudian menjadi Lembaga Ekolabel Indonesia. Pada periode tahun 1990-an hingga 2000, Hariadi bergabung dengan prakarsa bersama LSM dan pemerintah untuk menetapkan kebijakan pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam.

Selain mengajar di kampus, Hariadi sering melakukan penelitian ke berbagai daerah. Hasil risetnya itu  dia tulis dan kirim ke berbagai media, ada juga yang dipaparkan ke sejumlah pertemuan ilmiah dan dijadikan buku. Salah satu bukunya berjudul ‘Belenggu IMF dan World Bank: Hambatan Struktural Pembaruan Kebijakan Pembangunan Kehutanan’. Buku terbitan tahun 1999 ini merupakan hasil kajian dan telaah kritisnya terhadap dua lembaga bentukan negara-negara Barat. Rupanya buku itu menarik perhatian publik. Hariadi diundang untuk berbicara di kantor Bank Dunia di Washington DC, Amerika Serikat.

Studi S-2 di IPB diselesaikan Hariadi Kartodihardjo pada 1989.  Tesisnya bertajuk “Optimasi Produk Kayu Jati  di Industri Pengolahan Kayu Jati Cepu, Perum Perhutani.”  Pemikirannya tentang politik, kebijakan dan institusi terlihat dalam disertasi doktornya di  IPB tahun 1998. Judul disertasinya adalah “Peningkatan Kinerja Pengusahaan Hutan Alam Produksi Melalui Kebijaksanan Penataan Kelembagaan.” Pada 2010, dia menyandang guru besar atau profesor.  Enam tahun kemudian Hariadi menyampaikan orasi ilmiah di IPB dengan judul “Diskursus dan Kebijakan Institusi–Politik Kawasan Hutan: Menelusuri Studi Kebijakan dan Gerakan Sosial Sumber Daya Alam di Indonesia.”

Menurut Hariadi, kawasan hutan, jika dilihat dari penguasaan daratan di Indonesia mempunyai porsi yang sangat dominan, tetapi di dalam praktik lapangannya telah terbukti bahwa ranah legal-formal kawasan hutan tidak cukup untuk menjawab persoalan yang ada. “Permasalahan konflik, korupsi, dan kerusakan sumber daya alam bermula pada ketidakjelasan status lahan/hutan,” tulis Hariadi dalam orasi ilmiahnya.

Sayangnya, tulis Hariadi, bahwa diskursus yang dianut oleh pemerintah adalah sangat positivistik-legal formal sekali. Kawasan hutan yang clear didefinisikan melalui selembar kertas izin dan dokumen tata batas belaka. Padahal di dalamnya harusnya mengandung komponen legal yang legitimate. Yaitu sebuah kondisi kawasan yang sah menurut hukum formal (legal) dan diakui oleh para pihak di dalamnya (legitimate), dalam hal ini adalah masyarakat lokal/adat.

 

Nara Sumber Utama KPK

Pada 2012, KPK meminta Hariadi menjadi nara sumber utama di badan litbangnya. Lembaga anti korupsi yang masih harum namanya itu ingin memperbaiki tata kelola sumber daya alam, baik di sektor kehutanan dan tambang. Pada isu kehutanan, terdapat banyak kasus korupsi, salah satunya penyalahgunaan dana reboisasi. KPK membantu Kementrian Kehutanan dan instansi lainnya membuat aplikasi untuk sistem perizinan dan monitoring.

KPK meneken nota kesepakatan bersama dengan 12 kementerian/lembaga dan 24 gubernur. Hal ini merupakan bagian dari Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam (GN SDA). “Kehadiran Pak Hariadi dalam gerakan ini memberikan pengaruh yang signifikan terhadap perbaikan tata kelola sumber daya alam di Indonesia,” kata Laode Syarif yang meraih gelar master bidang hukum lingkungan internasional dari Queensland University of Technology (QUT) di Brisbane, Australia, dan gelar doktor dalam bidang hukum dari University of Sydney.

Hariadi turun ke lapangan untuk meneliti persoalan tata kelola sumber daya alam di berbagai daerah. Untuk itu dia melibatkan kelompok masyarakat sipil setempat. Dia menemukan praktik suap atau uang pelicin untuk mengurus perizinan. Uang haram itu juga disebar oleh pelaku pembalakan hutan kepada aparat keamanan dan pihak lain. Ternyata ada jejaring dan mafia yang melibat aktor-aktor lokal dan nasional.  “Ini jadi salah satu latar belakang beliau intensif menyoroti korupsi di sektor sumber daya alam,” ujar Bambang Hero.

Bagi KPK dan saksi ahli, penelitian Hariadi sangat bermanfaat untuk merumuskan kebijakan perbaikan tata kelola dan bahan persidangan kasus pidana.  Publik juga semakin paham setelah Hariadi membuat tulisan di berbagai media dan berbicara di depan seminar.  Menurut Bambang Hero apa yang ditulis Hariadi memiliki argumentasi dan landasan ilmiah yang kuat. Apalagi Hariadi banyak merujuk sejumlah teori dari para ahli lainnya.

Bambang Hero dengan koleganya di IPB kerapkali belum paham dengan konsep baru atau arah tulisan Hariadi. Namun setelah bertemu dan dijelaskan, mereka akhirnya mengerti. Bagaimana sikap Hariadi terhadap sikap sejumlah temannya di IPB yang lebih pro kepada korporasi? Hariadi membiarkan mereka memiliki pendapat seperti itu. Sementara dirinya mempunyai pendapat berbeda berdasarkan hasil riset dan bukti-bukti ilmiah. “Beliau tidak mau diadu-adu dan mempersilahkan untuk dibuktikan saja lewat riset,” ujarnya.

 

Warisan Prof Haka

Bambang Hero masih ingat pesan almarhum kepada dirinya untuk selalu rajin menulis. “Menulislah, jangan ditunda. Kalau menulis buku dicicil saja, jangan memaksakan harus jadi dalam waktu singkat,” kata Hariadi kepada Bambang dan dosen lain yang lebih junior.  Menurut Bambang, almarhum merupakan sosok yang inspiratif dan visioner dalam mengaktualisasikan sesuatu. Tutur kata dan tulisan Hariadi, ujar Bambang, halus dan tidak vulgar. “Tidak ada hal yang meragukan dan tak terbantahkan,” katanya.

Prof Haka, panggilan akrab, Hariadi memang produktif menulis buku dan opini di media massa. Sejak 2016, ada 18 tulisan opininya yang dimuat di harian Kompas/Kompas.id. Topik paparannya tentang lingkungan hidup, pangan, agraria, masyarakat adat, desa, politik, hingga korupsi. Beberapa kali tulisannya dimuat di majalah Tempo.

Setiap awal pekan, Hariadi menulis untuk rubrik “Surat dari Darmaga” di web ForestDigest.com. Website ini dikelola oleh Himpunan Alumni Fakultas Kehutanan IPB.  Opini tentang lingkungan dan kehutanan yang ditulis sejak Juli 2019 ini telah dibukukan dengan judul “Dosa dan Masa Depan Planet Kita”.

Pada 2017,  LP3ES menerbitkan 46 naskah tulisan Hariadi Kartodihardjo menjadi buku dengan judul “Di Balik Krisis Ekosistem.” Naskah itu mengupas isu-isu pembangunan nasional bidang lingkungan hidup dan kehutanan, masalah transdisiplin dalam tata kelola lanskap, tenurial dan kawasan hutan, hingga masalah bad governance. Ada tulisan Hariadi yang mengkritik terhadap pemikiran yang menjadi dasar tindakan dalam pengelolaan hutan, sumber daya alam lainnya, dan lingkungan hidup, serta implikasi dari corak pemikiran tersebut.

Laode Syarif masih mengenang kerja bareng dengan almarhum yang terakhir pada Juni 2023. Saat itu, Menteri Polhukam Mahfud MD membentuk  Tim Percepatan Reformasi Hukum. Syarif didapuk menjadi wakil ketua, sementara Hariadi sebagai ketua Kelompok Kerja Reformasi Hukum Sektor Agraria dan Sumber Daya Alam. Syarif menjelaskan almarhum ingin rekomendasi tim dapat ditindaklanjuti. Hariadi mengaku gundah gulana melihat perkembangan politik lima tahun terakhir dimana  ruang publik makin berkurang dan lemahnya kelompok masyarakat sipil.  

Menurut Laode Syarif, warisan dari almarhum adalah ketekunannya mengumpulkan pengalaman di lapangan  dan diolah menjadi tulisan yang baik. Sehingga bisa dipakai sebagai bahan untuk advokasi dan perbaikan. Hariadi, katanya, merupakan sosok yang konsisten, tidak menyimpang, dan memiliki tujuan yang jelas.

“Almarhum membela lingkungan, masyarakat, dan pejuang anti-korupsi. Beliau tetap mempertahankan nilai-nilai tersebut meskipun kerja di pemerintahan,” kata Syarif. Warisan lain adalah Hariadi mampu menyampaikan gagasan dan pendapatnya dengan rendah hati. “Sehingga orang bisa menerima. Jarang orang yang memiliki kombinasi seperti beliau.”

Sulistyowati Irianto mengakui bahwa sosok seperti Hariadi Kartodihardjo sangat sedikit jumlahnya di Tanah Air. Yang banyak adalah ilmuwan yang menyediakan dirinya menjadi pembenar bagi keberlangsungan kekuasaan, ikut terlibat, setidaknya tidak berbuat apa-apa ketika elit penguasa menjadikan hukum sebagai alat rekayasa politik dan berkelindan dengan korupsi politik. Hariadi Kartodihardjo, ujar Sulistyowati, adalah contoh ilmuwan organik yang memiliki watak cinta akan kebenaran dan menyuarakannya.

“Beliau ahli kehutanan yang banyak melakukan penelitian tentang korupsi sumber daya alam, membongkar kejahatan massif dan mengerikan dalam mengeruk sumber daya alam, lalu membuat publikasi, menulis di koran secara mencerahkan dan melakukan advokasi,” kata Sulistyowati, Guru Besar Antropologi Hukum Universitas Indonesia pada acara Koentjaraningrat Memorial Lecture di kampus UI Depok, Senin, 3 Juni 2024.  Sulistyowati meminta ratusan orang yang hadir di acara tersebut untuk mengheningkan cipta bagi Hariadi Kartodihardjo. Selamat jalan Prof Haka. Warisanmu terukir di benak pejuang lingkungan.

Ikuti tulisan menarik Untung Widyanto lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler