Kala itu senja mulai terkuak tapi matahari belum mau terbenam. Sekelompok relawan cewek TBM Lentera Pustaka tampak berkendara Mobake (MOtor BAca KEliling) mencari titik baru di daerah Cipadung Sukaresmi, Tamansari, Kabupaten Bogor. Mereka tengah menjalankan aktivitas literasi, yakni menemukan daerah yang banyak anak-anak tapi tidak memiliki akses bacaan.
Mereka menyusuri pematang sawah dan jalanan kampung. Di sebuah lokasi mereka bertemu anak-anak yang sedang bermain. Mobake diparkir. Dan, relawan TBM Lentera Pustaka yang terdiri dari Susi, Resa, Farida, Zhia, dan Mega itu segera mengajak anak-anak mengakrabi buku.
Mereka memulainya dengan memperkenalkan buku-buku bacaan, lalu memilihnya dengan lewat judul buku yang ringan dan menarik. Anak-anak kampung itu belum terbiasa membaca, karena memang selama ini tidak punya akses bacaan.
Lalu terjadilah dialog yang dimulai dengan pertanyaan: apa pentingnya membaca? Untuk apa dan bagaimana caranya? Dan seterusnya. Lalu tiba saatnya memilih buku. Setelah mendapat bacaannya masing-masing, anak-anak tenang menyimak pilihannya seraya duduk di tepian sawah. Asyik, sekali.
Apa yang dilakukan para relawan taman bacaan itu hanyalah untuk mewujudkan tekad menyediakan akses bacaan untuk anak-anak kampung. Ini hanya sekelumit kisah kru Mobake TBM Lentera Pustaka yang berjuang menyediakan akses bacaan di kampung-kampung. Mereka melakukan hal itu seminggu dua kali, melayani anak-anak usia sekolah yang tidak punya akses bacaan. Mereka bergerak mendekati anak-anak agar bisa membaca buku di dekat kediamanya masing-masing.
Sudah terbukti, membaca buku bukan soal minat, tapi soal kemudahan akses bacaan. Tidak akan pernah ada minat baca tanpa adanya akses bacaan. Sudahkah tersedia tempat dan waktu untuk membaca buku anak-anak di dekat kita? Ke mana anak-anak itu bisa membaca? Serenceng pertanyaan itu tak dijawab dengan kata-kata berbusa, tapi dengan tindakan nyata oleh para relawan TBM Lentera Pustaka. Dengan program Mobake, mereka menjadikan buku-lah yang menghampiri anak-anak kampung. Bukan sebaliknya!
Memang benar membangun kegemaran membaca anak tidak semudah membalik telapak tangan. Menyediakan akses bacaan pun butuh perjuangan. Literasi butuh pengorbanan. Harus ada komitmen dan konsistensi yang sepenuh hati, agar akses bacaan bisa tersedia di tengah masyarakat.
Kegemaran membaca pun butuh aksi bukan sebatas diskusi atau narasi. Harus ada yang berjuang untuk tegaknya tradisi baca dan budaya literasi. Maka siapapun yang berhenti berjuang, sama artinya ia sendirilah yang menghentikan pentingnya membaca dan literasi.
Dari aksi relawan yang berjuang menyediakan akses bacaan ini terselip pesan moral: Tidak usah terlalu banyak mikir untuk berbuat baik. Jangan terlalu cemas atau khawatir. Karena sepotong besi itu rusak karena karatnya sendiri. Maka kerjakan apapun yang baik dan bermanfaat, di mana pun dan untuk siapapun. Jangan terjebak urusan dunia. Apalagi bilang sibuk dan tidak punya waktu.
Sibuk ngapain? Toh, yang dicari tidak dibawa mati yang dikumpulkan pun tidak dibawa ke liang lahat. Sisihkan waktu karena di luar sana, ada orang-orang yang perlu dibantu dan ada diri sendiri yang perlu disapa. Sekalipun hanya membaca buku.
Khoirunnas anfa'uhum linnas. Sebaik-baik manusia itu yang paling bermanfaat untuk yang lainnya. Bukan yang paling tinggi sekolahnya, bukan yang paling banyak hartanya, apalagi yang paling banyak omongnya. Berkiprah secara sosial dan berliterasi, seperti kata Mahatma Gandhi, "Kekuatan itu tidak datang dari kemampuan fisik tapi datang dari kemauan yang tidak dapat ditaklukkan oleh dirinya sendiri".
Salam literasi
#MotorBacaKeliling #TBMLenteraPustaka #BacaBukanMaen
Ikuti tulisan menarik Syarifudin lainnya di sini.