x

Wukuf. Tenda-tenda yang akan digunakan jamaah saat wukuf di Arafah, Arab Saudi, Selasa 20 Juni 2023. ANTARA FOTO/Wahyu Putro A\xd

Iklan

Agus Salim Syukran

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 19 Juni 2024

Sabtu, 22 Juni 2024 18:55 WIB

Beda Hari Arafah, Haruskah Ikut Saudi Arabia?

Perbedaan awal Zulhijah antara Indonesia dan Saudi Arabia menimbulkan persoalan hukum terkait kapan umat Muslim Indonesia melaksanakan puasa Arafah dan Idul Adha. Perdebatan seputar masalah ini mungkin akan terus terjadi entah sampai kapan. Bagaimanakah duduk perkara persoalan ini menurut tinjauan fikih?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Perbedaan penetapan awal Dzulhijah 1445 H antara pemerintah Indonesia dan Kerajaan Saudi Arabia menyisakan persoalan klasik: haruskah warga Muslim Indonesia menjalankan puasa Arafah dan Idul Adha sesuai ketetapan Saudi Arabia atau mengikuti pemerintah Indonesia?

Pertanyaan semacam ini akan terus muncul setiap ada perbedaan ketetapan awal Zulhijah antara kedua negara. Hal itu karena ketetapan awal bulan terakhir tahun qamariyah ini berkaitan dengan pelaksanaan ibadah umat Muslim, yaitu puasa Arafah dan Idul Adha.

Sebagaimana diketahui, pada tahun 1445 H terjadi perbedaan antara Kerajaan Saudi Arabia dan pemerintah Indonesia dalam penetapan awal Dzulhijah. Saudi Arabia, melalui Mahkamah Tinggi Kerajaan, menetapkan 1 Dzulhijjah 1445 H jatuh pada Jumat, 7 Juni 2024. Dengan demikian, hari Arafah jatuh pada Sabtu, 15 Juni 2024, dan Idul Adha jatuh pada Ahad, 16 Juni 2024.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sementara itu pemerintah Indonesia menetapkan 1 Dzulhijah 1445 H jatuh pada Sabtu, 8 Juni 2024. Dan dengan demikian hari Arafah jatuh pada Ahad, 16 Juni 2024, dan Idul Adha jatuh pada Senin, 17 Juni 2024.

Keputusan pemerintah ini didasarkan pada hasil pengamatan hilal di wilayah Indonesia pada Kamis, 29 Dzulkaidah 1445 H, yang bertepatan dengan 6 Juni 2024. Hasilnya, saat Matahari terbenam, hilal belum tampak.

Bahkan, secara astronomis, posisi hilal untuk semua wilayah Indonesia masih di bawah ufuk, yakni antara -1,580 di ujung barat Indonesia (Sabang) sampai -5,140 di ujung timur Indonesia (Merauke).

Keputusan pemerintah ini sejalan dengan keputusan dua organisasi keagamaan terbesar di negeri ini, Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU). Muhammadiyah, yang dalam beberapa keputusan sering membersamai Saudi Arabia karena menggunakan metode hisab hakiki wujudul hilal, kali ini secara kebetulan bersama-sama pemerintah dan NU dalam satu keputusan.

 

Problem Fikih

Perbedaan ketetapan tanggal ini kemudian melahirkan problem hukum terkait pelaksanaan puasa Arafah dan ibadah Idul Adha bagi kaum Muslimin Indonesia. Haruskah mereka mengikuti tanggal yang ditetapkan pemerintah, atau tanggal yang berlaku di Saudi Arabia?

Terkait masalah ini, ada tiga golongan umat Islam. Pertama, golongan yang berpuasa dan berhari raya mengikuti tanggal yang berlaku di negara setempat. Kedua, golongan yang berpuasa dan berhari raya mengikuti tanggal yang ditetapkan Saudi Arabia. Ketiga, golongan yang mengikuti tanggal setempat untuk Ramadan dan Idul Fitri, tapi mengikuti Saudi Arabia untuk puasa Arafah dan Idul Adha.

Akar masalah dari perbedaan pendapat ini terletak pada dua perkara. Pertama, adanya perbedaan metode penetapan bulan qamariyah. Ada yang menganut kalender global, ada yang mengikuti kalender lokal. Yang menggunakan kalender global akan mendasarkan keputusannya pada ketetapan Saudi Arabia karena negara ini dianggap sebagai kiblat kegiatan keagamaan umat Islam di dunia, terutama menyangkut ibadah haji dan umrah.

Sementara itu, yang menggunakan kalender lokal mendasarkan keputusannya pada ketetapan otoritas setempat. Dalam hal ini, bisa jadi keputusan di suatu negara berbeda dari keputusan di Saudi Arabia karena adanya perbedaan mathla’ (tempat terlihatnya bulan).

Kedua, adanya perbedaan pemahaman mengenai hakikat puasa Arofah, yakni apakah ia puasa tanggal 9 Zulhijjah atau puasa saat dilaksanakannya wukuf di Padang Arafah. Yang berpendapat bahwa puasa Arofah adalah puasa tanggal 9 Dzulhijjah, maka patokannya jelas, mengikuti ketetapan tanggal 9 Zulhijah sesuai kalender yang dianut.

Sedangkan yang berpendapat bahwa puasa Arafah adalah puasa yang dilaksanakan bersamaan dengan pelaksanaan wukuf di Arafah, patokannya adalah hari pelaksanaan wukuf di Arafah, dan itu mengikuti keputusan pemerintah Saudi Arabia.

Sebagian umat Muslim Indonesia yang memilih untuk berpuasa Arafah dan berhari raya Idul Adha mengikuti Saudi Arabia, kemungkinan landasannya adalah dua hal di atas. Pertama, karena mengikuti mazhab kalender global, yang hal ini mengikuti ketentuan Saudi Arabia. Kedua, karena berpandangan bahwa puasa Arafah adalah puasa saat dilaksanakannya wukuf di Padang Arafah.

 

Mana Yang Benar

Lalu, manakah yang benar? Hampir semua ulama mengatakan bahwa masalah ini termasuk masalah ijtihadiyah-khilafiyah sehingga sulit untuk dicari kebenaran secara mutlak. Perbedaan dalam masalah semacam ini dimungkinkan selagi memiliki dasar yang bisa dibenarkan secara agama.

Syaikh Muhammad ibn Salih al-Uthaimyn, seorang ulama panutan di Saudi Arabia, mengatakan bahwa yang benar adalah menghargai penetapan awal bulan berdasar mathla’ masing-masing negara, meski berbeda dari yang di Makkah.

Pendapat ini didasarkan pada sabda Nabi Muhammad saw, Jika kamu melihatnya (hilal Ramadan), maka berpuasalah, dan jika kamu melihatnya (hilal Syawal), maka berbukalah.”  (HR Bukhari dan Muslim).

Sementara itu Syeikh Muhammad Salih al-Munajjid, ulama Saudi yang aktif berdakwah di internet, dalam laman islamqa.info/ar/answers/ menjawab pertanyaan terkait masalah ini. Ia mengatakan bahwa hari Arafah adalah hari kesembilan bulan Dzulhijjah, dan ditentukan bagi masing-masing negara menurut penampakan bulan sabit Dzulhijjah di tempatnya.

“Tidak perlu mengikuti apa yang dilakukan penduduk Mekkah jika terbitnya bulan sabit itu berbeda, dan ini adalah pendapat yang paling benar di kalangan ulama,” katanya.

Sementara itu ada pendapat lain yang agak unik. Pendapat itu dikemukakan ulama asal Lebanon, Syeikh Faisal Mawlawi. Sebagaimana ditulis dalam fiqh.islamonline.net, tokoh yang pernah menjadi Wakil Ketua Dewan Fatwa dan Kajian di Eropa ini mengatakan bahwa jika terjadi perbedaan penampakan hilal Ramadhan dan hilal Idul Fitri di beberapa tempat, yang terbaik adalah berpuasa dan berbuka sesuai penampakan hilal di tempat tersebut.

Akan tetapi, untuk Idul Adha tidak demikian. “Ia ditetapkan dengan melihat jadwal kegiatan jamaah Haji di Makkah. Hari Arafat adalah hari dimana jamaah haji melaksanakan wukuf di Arafat, tidak peduli dengan hasil penampakan hilal atau perhitungan falak di daerah lain yang mungkin berbeda dengan itu,” tegasnya

Walhasil, perbedaan pendapat dalam hal-hal seperti ini tidak akan pernah selesai. “Sudah ada sejak dahulu, dan akan terus ada hingga Hari Kiamat tiba,” kata Syeikh Mawlawi.

Dengan demikian, yang perlu dibangun adalah pemahaman umat terkait masalah-masalah ijtihadiyah-ikhtilafiyah, sehingga terjadi saling pengertian dan tidak saling menyalahkan yang dapat berujung pada permusuhan. Wallahu a’lam.***

Lamongan, 22 Juni 2024.

Ikuti tulisan menarik Agus Salim Syukran lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler