x

Ilustrasi Upaya Bunuh Diri. Foto: Pixabay.com

Iklan

Violeta Pandiangan

Penulis Indonesiana. ~Hupomone~ May you be healed from things no one ever apologized for.
Bergabung Sejak: 29 Desember 2023

5 hari lalu

Pengaruh Sejarah, Budaya, Gerakan Sosial dan HAM Terhadap Fenomena Bunuh Diri

Fenomena suicide (bunuh diri) terus muncul di Indonesia dan juga di semua negara. Fenomena suicide berbahaya karena mampu memberi ilusi rasionalisasi terus ada akses dan pengaruh pop culture yang menciptakan suatu budaya. Dunia tahun 2019 mencatat bahwa suicide terjadi setiap 44 detik.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pasti kita pernah mencoba memahami alasan-alasan paling masuk akal mengapa manusia merasa telah berada pada Six Feet from the Edge sehingga merasionalisasikan bunuh diri.

Albert Camus (1913-1960) mengatakan bahwa suicide adalah suatu stage dimana seseorang sudah berada dalam kondisi sangat genting untuk memutuskan pertanyaan paling fundamental bagi manusia yaitu apakah hidup ini sebenarnya layak untuk dilanjutkan atau tidak.

Berada pada kondisi genting ini adalah masa tergelap seseorang jika harus dilewati dalam hidupnya, dimana penyebabnya dapat berasal dari dirinya sendiri maupun akibat ulah orang lain.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Artikel sebelumnya menunjukkan data bahwa suicide bisa menjadi pandemi kesehatan mental karena tidak satu negarapun terlewatkan. Perhatikan grafik dibawah ini.

Sebagai makluk socius, fenomena suicide ini terlalu berbahaya sebab sebagaimana budaya memiliki unsur nilai, pandangan, kepercayaan, sistem bahasa, komunikasi serta praktik-praktik dimana suatu masyarakat memiliki kesamaan makna yang dihidupi bersama sehingga menghasilkan produk kebiasaan dan benda yang menjadi ciri khas suatu masyarakat, maka fenomena suicide bisa menjadi sangat contagious.

Seorang Nazi bernama Joseph Goebbels, disinyalir menciptakan taktik twisting penipuan yang culas dengan mengatakan, “Ulangilah kebohongan cukup sering dan itu akan menjadi kebenaran”.

Apa wujud kebohongan dibalik merasionalisasi suicide? Saat terjadinya suicide yang terus menerus dan menyerang semua golongan masyarakat, orang dewasa, laki-laki, perempuan bahkan anak-anak.

Tragedi suicide pada anak-anak di Indonesia dan India yang terjadi pada awal Covid-19 menghancurkan hati orangtua dan masyarakat. Tekanan belajar daring dan kegiatan interaksi yang normalnya dilakukan manusia ditutup paksa padahal masa anak-anak sangat memerlukan interaksi ini sebagai sarana untuk membangun kemampuan dan karakter psikososial mereka lewat bermain dan bertukar pikiran dengan sebayanya. Mereka turut didampaki oleh masalah ekonomi keluarga karena harus membeli pulsa internet dan perangkat elektronik agar bisa ber-sekolah daring, padahal pemutusan kerja banyak terjadi.

Anak-anak SD/SMP/SMA pernah bercerita betapa depresinya mereka dan cepat sekali mengatakan ingin suicide. Alasan-alasan yang dikemukakan hampir selalu berlatar-belakang masalah keluarga. Orangtua cerai dan masing-masing telah menikah. Anak-anak dititipkan kepada nenek mereka. Ada yang mengalami KDRT dari ayah atau ibunya. Ada ayahnya yang narkoboy. Ada pula kasus anak remaja yang ketakutan hamil karena sudah melakukan hubungan suami istri dengan pacarnya yang usianya jauh lebih tua. Ada pula yang tidak lulus PTN lalu ingin melakukan suicide.

Pop culture dari Korea, negara dengan kecenderungan suicide cukup tinggi, tidak menutup kemungkinan berkontribusi dalam melakukan twisting untuk melakukan suicide terhadap vulnerable group ini. Bahkan mereka bercanda “Nanti ketemu si anu”.

Suicide adalah bukti betapa rentan dan sensitif mental manusia. Suicide bukan penyakit zoonosis yang bisa jadi tidak dialami oleh beberapa negara karena letak geografi yang tidak memungkinkan suatu hewan berkembang, Misalnya malaria, meski dapat mematikan tetapi tidak menyerang di semua negara. Suicide juga tidak meng-eksklusif-kan negara berkembang dari negara yang sedang berkembang atau belum berkembang, seperti yang didiskriminasikan pada si nyamuk malaria.

Suicide juga tidak mengeksklusifkan dirinya hanya menyerang orang miskin atau orang kaya. Suicide bahkan diderita oleh negara paling bahagia di dunia yang ber-sistem hidup tertib-nyaman. Pun Suicide tidak melewatkan negara berpenduduk kecil yang memungkinkan pengontrolan menyeluruh. Suicide juga tidak melewatkan apakah negara itu memiliki banyak pantai dengan kura-kura dan pohon kelapa diiringi lagu reggae Bob Marley

Ketika data Suicide 2019 saya terjemahkan dalam bentuk peta dunia berdasarkan 6 benua (Asia, Afrika, Australia, Amerika Selatan, Amerika Utara dan Eropa) ada hal yang sangat menarik yang bisa diteliti demi merencanakan intervensi global. Lihatlah peta ini sambil inventarisir budaya serta sejarah yang mempengaruhi perkembangan masing-masing negara.

Menarik bukan? Tabel berikut menjelaskan perbandingannya.

Dapatkah Kekuatan Budaya dan Sejarah Meredam?

Bayangkan kondisi dan konsekuensi dari sejarah dan kekuatan sosial-ekonomi-budaya yang mengakibatkan perkembangan dan modernisasi terhadap setiap benua.

Bukankah di benua Asia, Afrika dan Amerika Selatan terdapat negara-negara yang umumnya mengalami penderitaan akibat penjajahan dan kolonialisme yang dilakukan oleh negara-negara dari benua Eropa dan Amerika yang menjadi negara-negara berkembang dengan segala modernisasi. Dua benua ini juga mendominasi sebagai negara “paling bahagia di dunia” seperti yang tampak pada grafik diawal artikel ini. Namun ternyata pada 3 benua itu pula lah, terdapat angka kematian akibat suicide paling tinggi dibandingkan dengan benua Asia, Afrika dan Amerika Selatan dimana terdapat banyak negara yang masih dikatagorikan sebagai negara belum berkembang. Betapa paradoks-nya, namun memberi pencerahan.

Negara dengan suicide kecil ternyata berasal dari benua-benua yang mengalami kesusahan dan penderitaan karena penjajahan. Coba lihat suicide di Afrika dan di Eropa, dan jumlah penduduk kedua benua ini. Lihat pula Amerika Selatan.

Solusi Dari Benua Dengan Negara Sedang (Belum) Berkembang Bagi Benua Dengan Negara Berkembang

Kesusahan membangun ketabahan. Namun bukan berarti memperkosa hak dan kewajiban manusia. 3 benua ini kelihatannya memiliki kesamaan karakter akan ketabahan, dan juga kesamaan menderita penjajahan yang dampaknya masih berlangsung.

Spiritualisme dan agama, semua bersumber dari 3 benua yang penuh dengan negara sedang berkembang. Islam, Yahudi, Kristen/Katolik, berasal dari Middle East dan Asia Barat. Budha, Hindu dan Konghucu berasal dari Asia Timur. Indonesia sendiri mempraktekkan beberapa aliran kepercayaan. Misalnya Batak dengan Parmalim, atau Jawa dengan Kejawen.

Institusi penyelenggara piala kebahagiaan dunia perlu mereview kriteria sebelumnya, untuk menghindari ketimpangan dan diskriminasi kebahagiaan yang dipaku secara global, seperti jelas terpapar oleh peta dunia diatas. Bagaimana bahagia jika banyak suicide?

Suicide adalah Pelanggaran HAM

Iman Kristen tidak mendukung suicide. Allah memberi HAM paling fundamental pada manusia yakni ROH dan JIWA yang hidup. Maka suicide adalah pelanggaran HAM secara vertical, juga horizontal karena socius membuat kita wajib saling melindungi. Manusia akan mati, tentu saja. Tetap karena Tuhan yang memberi, maka Dia pula yang mengambil kembali, seperti tertulis pada 10 Perintah Tuhan nomor 6: Jangan membunuh. Angka 6 itu sendiri adalah simbol manusia.

Be kind, for everyone you meet is fighting a harder battle-Plato

#SociologiKeluarga #SuicideMelanggarHAM #JanganMembunuh #KetahananMasyarakat #ApaPeranPemerintahDalamPembangunan

Ikuti tulisan menarik Violeta Pandiangan lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler