x

Lie Jangan Panggil AKu Cina

Iklan

Handoko Widagdo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Rabu, 26 Juni 2024 17:46 WIB

Lie Jangan Panggil Aku Cina

Benarkah untuk menjadi perempuan Indonesia harus merendahkan diri menjadi subordinat lelaki?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Judul: Lie Jangan Bilang Aku Cina

Penulis: S. Satya Dharma

Tahun Terbit: 2000

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Penerbit: Titik Terang

Tebal: vi + 152

ISBN:

 

”Lie Jangan Bilang Aku Cina” adalah novel pendek karya S. Satya Dharma yang didedikasikan kepada Lou Yun Hap. Lou Yun Hap adalah salah satu korban kerusuhan Mei 1998. Yun Hap tertembak peluru tentara saat kondisi Jakarta chaos karena domonstrasi mahasiswa menuntut turunnya Suharto.

  1. Satya Dharma tidak bermaksud menulis tentang orang Tionghoa yang menjadi korban kerusuhan Mei 1998. Ia ingin menulis tentang perjuangan perempuan Tionghoa untuk menjadi perempuan Indonesia seutuhnya. Seorang perempuan yang patuh kepada suaminya.
  2. Satya Dharma tidak banyak menguraikan kerusuhan itu sendiri. Ia juga tidak banyak menulis tentang para korban. S. Satya Dharma malah menulis tentang betapa gigihnya orang Tionghoa, khususnya perempuan dalam mempertahankan jati dirinya sebagai bangsa Indonesia.
  3. Satya Dharma menggunakan tokoh Lie Shin Hwa, seorang perempuan Tionghoa dari keluarga berada yang memilih untuk menjadi istri Dipo, seorang penyair asal Medan teman SMA-nya. Lie memilih meninggalkan kemapanan ekonomi keluarganya dan memilih hidup dengan Dipo, meski hidup penuh kekurangan.

Lie digambarkan sebagai istri yang sangat patuh kepada suaminya. Lie memilih untuk mengikuti agama Dipo. Lie juga digambarkan sebagai perempuan yang penurut kepada apa saja kemauan suaminya. Termasuk saat ia ingin bekerja untuk membantu ekonomi keluarga tetapi dilarang oleh Dipo. Lie mematuhi larangan Dipo untuk bekerja.

Selain sebagai penyair, Dipo adalah seorang wartawan. Dipo berupaya untuk meraih nasip di Jakarta membawa serta Lie dan anak semata wayang mereka Nanda. Dipo yang idealis tentu mengalami kesulitan untuk bekerja sebagai wartawan sebuah majalah yang isinya adalah kisah tentang orang-orang sukses. Idealisme Dipo membuat karirnya tidak membaik; malah ia harus berkonflik dengan pimpinannya karena dianggap ogah-ogahan dalam bekerja.

Di sinilah kita bisa mempertanyakan apakah sikap Dipo adalah sikap yang tepat? Bukankah ia harus bertanggungjawab terhadap istri dan anaknya? Bukankah menuruti idealisme adalah sebuah tikdakan egois? Namun S. Satya Dharma justru menggunakan konflik ini untuk menunjukkan kualitas Lie yang setia dan terus mendukung apa saja yang menjadi keputusan Dipo.

Kualitas Lie sebagai perempuan Tionghoa yang tangguh digambarkan melalui upaya Lie untuk menyelesaikan sekolah hukum. Di tengah kemiskinan dan kesibukan untuk mengasuh Nanda, Lie terus berjuang untuk menyelesaikan kuliahnya di Fakultas Hukum. Lie tidak mengeluh atas segala kekurangannya secara ekonomi dan kesibukannya mengasuh Nanda. Lie tidak mengeluh terhadap sikap Dipo yang lebih mengutamakan idealismenya dariapda bertanggung jawab terhadap kebutuhan keluarganya.

Konflik besar justru terjadi saat Dipo memutuskan untuk cuti dari kantornya dan pergi menenangkan diri ke Aceh. Lie dan Nanda dibawanya ke Medan untuk tinggal bersama dengan Ibu Dipo yang sakit-sakitan. Dipo sendiri malah ke Sabang untuk menenangkan diri.

Saat Dipo sampai di Medan dan berjumpa dengan Lie, Lie tampak berubah. Lie mulai berani membantah. Saat Nanda tidak mau dipangku oleh Dipo, bukannya merayu Nanda supaya mau dekat dengan bapaknya, Lie malah menegur Dipo yang tak pernah memperhatikan Nanda. Bahkan Lie berani berkata bahwa Dipo bekerja bukan untuk keluarga, tetapi hanya untuk menuruti idealismenya saja. Lie menghardik Dipo: ”Kau egois!”

Lie memutuskan untuk tidak ikut kembali ke Jakarta. Meski akhirnya Lie sekali lagi mengalah dan ikut ke Jakarta.

Saat kembali ke Jakarta, Dipo bukannya lebih giat bekerja untuk meningkatkan ekonomi keluarganya, ia malah mengajukan supaya dipindah sebagai korektor. Gaji sebagai korektor tentu saja lebih rendah dari saat ia masih menjadi wartawan. Lie tentu saja sangat kecewa dengan keputusan Dipo. Namun sekali lagi Lie menurut apa yang telah diputuskan oleh Dipo.

Di tengah kesulitan ekonomi yang lebih parah, Lie hamil lagi. Sayang Lie mengalami kecelakaan. Lie jatuh di kamar mandi. Lie pingsan dan kehilangan banyak darah. Lie meninggal di Puskesmas. Lie mati.

Mengapa S. Satya Dharma memilih untuk membunuh Lie melalui kecelakaan di kamar mandi? Bukankah ia ingin menggambarkan Lie sebagai seorang perempuan Tionghoa yang telah memilih untuk menjadi Indonesia seutuhnya?

Bukankah ia menulis: ”Lie memang wanita Cina. Tapi sesungguhnya bukan lagi prototype dari mayoritas wanita-wanita yang berakan di negeri paman Deng itu. Lie, ia bahkan sudah lebih meng-Indonesia dari wanita-wanita Indonesia kebanyakan. Ya bicaranya, ya sipakpnya. Kepatuhannya pada kodrat kewanitaannya adalah cermin sebuah pribadi yang matang oleh pemahaman akan kenyataan hidup di sekelilingnya. Kenyataan hidup yang coba dilakoni dengan sejujurnya” (hal. 136).

Benarkah untuk menjadi perempuan Indonesia Lie harus berperilaku sebagai perempuan tradisional yang menjadi sub-ordinat laki-laki? Benarkah untuk menghapuskan image nonpri harus menjadi perempuan yang menyerah kepada apa saja yang diputuskan oleh suaminya? Walau suaminya adalah seorang egois yang tak bertanggung jawab atas kehidupan keluarganya?

Saya berpendapat lain. Perempuan harus memperjuangkan haknya. Ia tak boleh menerima penindasan oleh laki-laki, meski penindasan tersebut diatasnamakan tradisi, budaya dan agama. Penghapusan image nonpri tak bisa dilakukan melalui gambaran perempuan yang pasrah kepada penindasan lelaki. 843

Ikuti tulisan menarik Handoko Widagdo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler