x

Iklan

Agus Sutisna

Penulis Indonesiana | Dosen | Pegiat Sosial
Bergabung Sejak: 6 September 2023

5 hari lalu

Anies, PKS dan PDIP: dari Jakarta Menuju Pilpres 2029

Mewujudkan koalisi PKS-PDIP di Pilkada DKI bukan tanpa kendala. Kedua partai ini secara ideologi kerap dinilai berseberangan. PKS relijius (Islam), sebaliknya PDIP sekuler (Nasionalis). Toh, keduanya memiliki pijakan ideologi nasional yang sama: Pancasila. So?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

PKS akhirnya mengumumkan Anies Baswedan sebagai bakal calon Gubernur DKI dan akan didampingi oleh salah satu kader terbaiknya, Sohibul Iman sebagai bakal calon Wakil Gubernur. Ini tentu pilihan rasional, wajar dan boleh jadi juga visioner dalam kerangka perhelatan elektoral nasional.

Dasar Pertimbangan

Rasional karena kabarnya hingga saat ini elektabilitas Anies masih yang tertinggi untuk Pilkada DKI 2024. Seperti diakui Surya Paloh, “orang capek hadapi Anies Baswedan di Pilkada Jakarta,” (Kompas.com, 25 Juni 2024). Karena dari berbagai survei Anies selalu di ranking satu. PKS menangkap fenomena ini sebagai peluang elektoral yang baik untuk dimanfaatkan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Wajar karena PKS merupakan partai politik pemenang Pemilu 2024 di Jakarta dengan raihan suara 1.012.028. Suara ini melampaui bahkan PDIP (850.174) sebagai pemenang Pemilu di tingkat nasional dan Gerindra (728.297) sebagai leader Koalisi Indonesia Maju (KIM) yang telah mengantarkan Prabowo-Gibran memenangi Pilpres.

Dan visioner jika dikaitkan dengen politik elektoral nasional lima tahun kedepan. Potensi besar kemenangan Anies (dengan siapapun akhirnya nanti disandingkan) dalam Pilkada DKI tentu akan memiliki dampak keberlanjutan yang signifikan untuk kepentingan Pilpres 2029 mendatang. Popularitas Anies bakal terjaga, icon perubahan yang tersemat pada dirinya juga akan terpelihara. Dengan demikian Anies bakal kembali tampil sebagai challanger yang berkelas pada Pilpres 2029.

Jadi, dengan mengusung Anies di Pilkada DKI, PKS sedang membuka lahan investasi politik dan pastinya berharap bakal meraih dua implikasi sekaligus. Pertama efek ekor jas (coat-tail effect) dari sosok Anies sebagai Capres 2029, dan kedua dengan sendirinya PKS “memiliki” (potensi calon) kader sebagai Presiden RI. Dahsyat!

Sohibul Iman The Trigger

Tetapi publik tahu, meski menjadi pemenang Pemilu di DKI, PKS tidak otomatis dapat mengusung sendiri paslon Gubernur-Wakil Gubernur karena perolehan kursinya di DPRD DKI belum cukup. PKS masih membutuhkan 4 kursi lagi untuk bisa mengusung Anies-Iman. Dengan demikian proses prakandidasi dalam beberapa pekan ke depan akan sangat dinamis sebagaimana juga terjadi pada proses prakandidasi Pilpres dulu.

Dalam kerangka proses prakandidasi itulah saya membaca posisi Sohibul Iman sebagai bakal Cagub belum bisa dibilang aman. Atau, boleh jadi Iman sesungguhnya dipasang sebagai “trigger” (pemicu) proses kandidasi untuk keperluan test the water sikap partai-partai politik yang masih serba abu-abu sekaligus respon warga Jakarta. Ada beberapa argumen dibalik bacaan analisis ini.

Pertama, sekali lagi PKS masih membutuhkan tambahan 4 kursi untuk bisa mengusung bakal paslon Gubernur-Wakil Gubernur. Ini artinya PKS membutuhkan partai lain untuk diajak kerjasama dan berkoalisi mengusung pasangan calon di Pilkada DKI.

Kedua, dalam situasi kekurangan jumlah kursi sebagai prasyarat pengajuan bakal pasangan calon tersebut, PKS tentu saja tidak mungkin mematok sikap politik yang rigid. Pintu kompromi pasti akan dibuka oleh PKS, dengan partai manapun yang nanti bisa diajak berkoalisi. Pada titik inilah posisi Sohibul Iman akan “dimainkan.”

Dengan alasan memiliki suara terbanyak di DPRD DKI dan tentu saja kapasitas Iman yang mumpuni, PKS tentu akan berjuang kencang untuk memasang mantan Presidennya itu sebagai bakal Cagub. Tetapi jika ikhtiar ini mentok, maka kemungkinan posisi Cagub diberikan kepada partai lain yang siap berkoalisi nampaknya bakal menjadi opsi kedua PKS.

Opsi kedua PKS itu tentu bukan tanpa kalkulasi. Jika opsi ini yang terjadi, artinya Sohibul Iman gagal disandingkan dengan Anies karena kesepakatan koalisi hanya bisa dicapai dengan memberikan posisi Cawagub kepada partai lain, maka cepat atau lambat PKS akan meminta Anies untuk bergabung sebagai kader resmi PKS. Dengan cara demikian, PKS tetap menjadi leader koalisi dan memiliki kader sebagai bakal Capres paling potensial di Pilpres 2029.

Ketiga, Sohibul Iman dipasang sebagai “trigger” dan akhirnya opsi kedua yang bakal terjadi juga didasarkan pada fakta lain, bahwa sebelum PKS mengumumkan Anies-Iman, DPW PKB DKI sudah lebih dulu memberikan rekomendasi pencalonan kepada Anies. Langkah DPW PKB DKI ini tentu bukan “cek kosong” untuk Anies. Jika DPP PKB menyetujui pasti memiliki kepentingan untuk mengajukan kadernya sebagai bakal Cawagub. Dan dalam kaitan ini, PKB juga memiliki sejumlah kader yang pantas disandingkan dengan Anies, salah satunya adalah Ida Fauziyah, Menteri Ketenagakerjaan saat ini.

Keempat, dengan mengumumkan Anies-Iman sebagai bakal paslon Gubernur-Wakil Gubernur DKI, PKS nampaknya juga berharap sikap politik elektoral partai-partai segera bisa dibaca arah pergerakannya. Bagi PKS ini penting untuk menentukan bagaimana dan kearah mana langkah koalisi di Pilkada DKI mereka bangun.

 

Siapa Kawan Koalisi Paling Potensial ?

Jika perkubuan di Pilpres 2024 lalu atau konstelasi politik pasca elektoral dapat dijadikan barometer bagaimana peta koalisi bakal terjadi di Pilkada DKI ini, maka ada 3 partai politik yang paling potensial bisa berkoalisi dengan PKS. Berdasarkan urutan raihan suara Pileg, ketiga partai ini adalah PDIP (1.012.028), Nasdem (545,235), dan PKB (470.682).

Tetapi kita tahu konstelasi politik pasca Pilpres 2024 sudah berubah. PKB dan Nasdem telah menyatakan diri bakal gabung dengan pemerintahan Prabowo-Gibran. Boleh jadi fakta ini pula yang telah mendorong PKS untuk mengambil langkah cepat melakukan fiksasi dan mengumumkan Anies-Iman. Dengan cara demikian PKS akan mendapatkan semacam insentif elektoral berupa determinasi politik dalam proses kandidasi maupun dalam rangkaian perhelatan Pilkada ke depannya.

Di sisi lain, posisi politik PDIP sejauh ini nampak konsisten memainkan peran-peran oposisional terhadap pemerintahan Jokowi yang mendukung Prabowo-Gibran. Hingga saat ini, alih-alih mengisyaratkan bakal gabung dan mendukung pemerintahan Prabowo-Gibran, PDIP justru kian rajin mengkritisi pemerintahan Jokowi dan kebijakan-kebijakan politiknya.

Berangkat dari peta statistik raihan suara Pemilu 2024 dan konstelasi politik pasca Pilpres, maka dari ketiga partai tersebut, jelas PDIP yang paling potensial berkoalisi dengan PKS di Pilkada Jakarta.

Pertama, raihan suara PDIP nomor dua setelah PKS. Ini artinya akan mendorong PKS untuk membuka peluang kompromi dengan PDIP dalam soal penentuan figur bakal Cawagub. Karena dari sisi raihan suara dan jumlah kursi PDIP lebih banyak dibanding PKB maupun Nasdem. PKS akan menilai wajar ketika PDIP mengajukan nama untuk pendamping Anies ketimbang PKB atau Nasdem.

Kedua, sikap politik PDIP terhadap pemerintahan Jokowi dan Paslon terpilih Prabowo-Gibran saat ini relatif lebih dekat dengan PKS dibanding PKB dan Nasdem. Sama-sama kritis terhadap pemerintahan Jokowi, dan sama-sama “menerima dengan catatan” kemenangan Prabowo-Gibran dalam Pilpres 2024 lalu. Dan ini, paling tidak hingga sekarang, ditunjukan oleh tidak adanya rencana untuk bergabung dalam pemerintahan Prabowo-Gibran nanti.

Ketiga, PDIP memiliki sejumlah kader unggul untuk disandingkan dengan Anies, antara lain Pramono Anung, Andika Perkasa, Azwar Anas dan Tri Rismaharini. Ahok tentu tidak bisa disebut karena regulasi pencalonan yang tidak memungkinkan untuk para mantan Gubernur di satu daerah yang sama kemudian disandingkan dalam satu paket paslon Gubernur-Wakil Gubernur. Dari keempat figur ini, Jendral (Purn) Andika nampaknya paling berpeluang dimajukan PDIP dan diterima oleh PKS.

Tentu saja mewujudkan koalisi PKS-PDIP di Pilkada DKI bukan tanpa kendala. Kedua partai ini secara “ideologi” kerap dinilai berseberangan, paradoks. PKS relijius (Islam), sebaliknya PDIP nasionalis (sekuler). Setidaknya inilah yang selama bertahun-tahun tersemat, atau disematkan publik, pada kedua partai ini. 

Tetapi fakta ini juga bukanlah hal yang final dan sama sekali juga tidak bijak jika kedua partai memperlakukan posisi ini sebagai sesuatu yang rigid. Politik adalah juga tentang kompromi (yang bisa dibenarkan secara moral) jika dimaksudkan untuk kebaikan dan kemaslahatan publik, serta dilakukan tidak dengan menabrak rambu-rambu konstitusi dan hukum.

Maka jika premis tersebut disepakati, “pekerjaan rumah” keduanya mestinya menjadi lebih ringan: masing-masing mengurangi “ego ideologis” partainya lalu bersama-sama mengedepankan prinsip politik kebangsaan. Toh keduanya juga pada hakikatnya memiliki pijakan ideologi nasional yang sama, yakni Pancasila !  Toh keduanya juga pada hakikatnya memiliki pijakan ideologi nasional yang sama, yakni Pancasila !  Dan dengan demikian, PKS-PDIP bisa bareng-bareng berangkat dari Jakarta menuju Pilpres 2029 bersama Anies-Andika. Why not, dan siapa tahu...

Ikuti tulisan menarik Agus Sutisna lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler