x

Pondok Modern Gontor, Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur: Foto: Istimewa

Iklan

Agus Salim Syukran

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 19 Juni 2024

2 hari lalu

Berpikiran Bebas ala Pondok Modern Gontor

Salah satu moto pendidikan di Pondok Gontor adalah berpikiran bebas, sesuatu yang terasa asing di lingkungan pondok pesantren yang biasanya konservatif. Tapi apa yang dimaksud berpikiran bebas menurut Gontor? Bagaimana jargon ini diimplementasikan?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Mungkin terdengar aneh ketika ada pondok pesantren yang mencanangkan “berpikiran bebas” sebagai salah satu moto pendidikannya. Tapi itulah yang dijalani di Pondok Modern Darussalam Gontor. Pondok yang terletak di Kecamatan Mlarak, Kabupaten Ponorogo, ini memiliki moto pendidikan: berbudi tinggi, berbadan sehat, berpengetahuan luas, dan berpikiran bebas.

Moto ini mengandung pengertian bahwa pendidikan yang dilakukan di pondok ini diarahkan untuk mencetak generasi muslim yang memiliki empat unsur kualitas, yakni budi pekerti yang luhur atau akhlak mulia, badan yang sehat dan kuat, wawasan yang luas, dan pikiran yang bebas.

Apa yang dimaksud berpikiran bebas? Terus terang, bagi kebanyakan pondok pesantren frasa ini terasa asing. Karena dunia pesantren pada umumnya cenderung konservatif dalam pemikiran dan memiliki doktrin ajaran yang eksklusif, baik dalam aqidah, fikih, maupun amalan ibadah. Lalu, bagaimanakah konsep berpikiran bebas menurut Gontor?

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dalam website resminya, pondok yang didirikan oleh tiga bersaudara –yaitu KH Ahmad Sahal, KH Zainuddin Fanani, dan KH Imam Zarkasyi— pada 1926 ini menerangkan bahwa berpikiran bebas di sini tidak berarti bebas sebebas-bebasnya (liberal). Kebebasan juga tidak boleh menghilangkan prinsip sebagai muslim-mukmin (ajaran Islam).

Kebebasan di sini merupakan lambang kematangan dan kedewasaan dari hasil pendidikan yang telah diterangi petunjuk ilahi (hidayatullah). Kebebasan yang sudah dilengkapi dua moto sebelumnya, yaitu berbudi tinggi dan berpengetahuan luas.

Meski begitu, moto ini masih menyimpan misteri dan mengundang perdebatan bahkan di kalangan alumni Gontor sendiri. Ada yang mengatakan bahwa moto ini “berbahaya” karena berpotensi menggiring santri ke arah pemikiran bebas (liberal) yang melampaui batas. Tapi, ada yang jusru menganggap moto ini ide brilian para pendiri Gontor, sekaligus menggambarkan visi modernitas mereka yang luar biasa.

Konteks Sejarah

Lahirnya moto ini memang tidak lepas dari konteks sejarah berdirinya Pondok Gontor. Pondok yang didirikan pada 20 September 1926, bertepatan dengan 12 Rabiul Awwal 1345, ini dibangun atas dasar keprihatinan pendirinya akan kondisi umat Islam saat itu.

Pada awal abad ke-20, umat Islam secara politik terjajah dan tertindas, secara ekonomi terpinggirkan, secara pendidikan terbelakang, secara sosiologis tercabik dalam kelompok dan aliran, dan secara keagamaan cenderung kolot dan jumud. Karena itu, Pondok Gontor hadir dengan visi perubahan umat sekaligus pembaruan di bidang pendidikan.

Kebetulan tahun-tahun itu beberapa organisasi pembaruan bermunculan di Indonesia seperti Jamiyatul Khair di Jakarta (1901), Syarikat Islam di Solo (1905), Muhammadiyah di Yogyakarta (1912), dan Al-Irsyad di Jakarta (1915), Tawalib di Sumatera Barat (1919), dan sebagainya.

Gerakan pembaruan Islam di Indonesia ini banyak dipengaruhi oleh gerakan yang sama di Mesir yang dipelopori oleh Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, dan M Rosyid Ridlo. Juga di Najed oleh Muhammad bin Abdul Wahab, dan di India oleh Syah Waliyullah, Sayyid Ahmad Khan, dan Muhammad Iqbal, yang kemudian menyebar ke belahan bumi lain, termasuk Indonesia.

Semua itu menggugah pikiran KH Ahmad Sahal untuk berpartisipasi dalam gerakan umat. Hanya saja, jalur yang ditempuh adalah pendidikan. Semangatnya adalah pembebasan umat dari pola pikir yang kolot, jumud dan terbelakang, menuju pola pikir yang terbuka, modern, dan siap menghadapi tantangan zaman.

Ketika menghadiri Kongres Umat Islam di Surabaya tahun 1924, KH Ahmad Sahal sempat prihatin karena kongres kesulitan mencari sosok yang tepat untuk mewakili umat Islam Indonesia ke Muktamar Internasional di Makkah yang diadakan untuk menanggapi jatuhnya Kekhalifahan Usmani di Turki.

Kesulitan itu muncul selain karena adanya konflik kepentingan antara kelompok Islam modernis dan tradisionalis, juga karena tidak adanya sosok yang menguasai bahasa Arab dan Inggris. Akhirnya yang dipilih harus merepresentasikan kemampuan dua bahasa tersebut, yakni HOS Tjokroaminoto yang menguasai bahasa Inggris dan KH Mas Mansur yang menguasai bahasa Arab.

Keadaan ini turut menginspirasi Ahmad Sahal untuk mendirikan pondok pesantren di desanya, Gontor, dengan ciri-ciri pembaruan dan kemodernan. Kini, Pondok Gontor telah memiliki 20 cabang di seluruh Indonesia.

Napas Pembebasan

Ide pembaruan dengan napas pembebasan tercermin dalam berbagai kebijakan pendidikan di Pondok Gontor. Baik pada aspek tujuan atau orientasi, kurikulum, dan sistem pendidikan atau pola pembinaan.

Pertama, Orientasi. Pendidikan yang dikembangkan di Gontor adalah pendidikan keumatan. Santri dididik untuk menjadi kader umat yang nantinya berkiprah dalam dakwah, baik melalui jalur pendidikan, sosial, ekonomi, budaya, politik, dan sebagainya. Di Gontor, santri dididik bukan untuk menjadi pegawai negeri.

Semangat persatuan, persaudaraan, dan solidaritas antara umat Islam sangat ditekankan di pondok ini. Gontor selalu berusaha menghilangkan fanatisme golongan atau sikap partisan yang sering mewarnai kehidupan umat Islam. Karena itu, moto yang sering digaungkan adalah: Gontor perekat umat, Gontor di atas dan untuk semua golongan.

Kedua, Kurikulum. Dalam kurikulum, Gontor melakukan banyak pembaruan. Ketika mayoritas pesantren hanya mengajarkan ilmu agama yang bersumber pada kitab kuning klasik, Gontor sudah memasukkan ilmu umum seperti sekolah Belanda. Ketika pondok lain menggunakan sistem sorogan, bandongan atau wetonan dalam pembelajaran, Gontor sudah menggunakan sistem klasikal.

Begitu juga saat pondok lain mengajarkan bahasa Arab hanya untuk membaca kitab, Gontor sudah mengajarkannya – dan juga bahasa Inggris— sebagai alat komunikasi harian, baik lisan maupun tulisan. Ketika santri lain masih pakai sandal dan sarung, Gontor sudah mengajarkan santrinya untuk pakai sepatu, celana dan kemeja berdasi seperti orang Eropa.

Gontor juga mengajarkan cara pandang yang luas mengenai perbedaan mazhab. Meski dalam praktik sehari-hari yang lebih tampak di Gontor adalah amalan ibadah NU, seperti adanya qunut Subuh, wirid bersama setelah salat, membaca pujian sebelum salat, tapi dalam pelajaran fikih santri dibuka cakrawala berpikirnya untuk memahami berbagai pendapat.

Ketika duduk di kelas 5 dan 6 KMI (setara 11 dan 12 SMA) santri diperkenalkan kitab Bidayatul Mujtahid karya Ibn Rusyd yang membahas ragam perbedaan pendapat dan akar masalahnya dalam fikih. Selain itu, santri juga dibekali pelajaran penunjang seperti Usul Fikih, Mustalah Hadits, dan Mantiq (logika). Juga diajarkan Perbandingan Agama untuk menambah wawasan tentang agama lain.

Ketiga, Sistem dan Pola Pembinaan. Pendidikan di Gontor dikembangkan dalam sebuah sistem yang memungkinkan pembangunan manusia seutuhnya. Tidak hanya ilmu yang diajarkan, tapi yang lebih utama adalah pembentukan karakter.

Santri dibentuk melalui pola hidup Islami yang berdisiplin. Juga melalui pendidikan kepemimpinan, latihan berorganisasi, wawasan nasional dan internasional, dan pilihan kegiatan ekstrakurikuler yang luas di bidang olahraga, seni, dan ketrampilan. Semua itu diharapkan dapat membekali santri untuk tumbuh menjadi pribadi yang kuat dan mumpuni.

Karena itu, tak heran jika alumni Gontor punya nuansa perbedaan dari alumni pondok lain. Kiprah mereka beragam di masyarakat, tapi kepeloporan mereka menonjol. Kita bisa ambil beberapa contoh tokoh puncak berikut.

Di garis politik tercatat ada Dr Idham Cholid (mantan wakil perdana menteri, ketua PB NU, ketua PPP), Dr Hidayat Nur Wahid (pendiri PKS), Dr (HC) Lukman Hakim Saifuddin (mantan politisi PPP dan Menteri Agama). Di garis ormas ada KH Hasyim Muzadi (mantan Ketua PB NU) dan Dr Din Syamsuddin (mantan Ketua PP Muhammadiyah). Di garis pemikiran ada tokoh cendekiawan muslim Dr Nurcholish Majid, dan di garis seni-budaya ada Emha Ainun Nadjib.

Di garis birokrasi ada Muhammad Maftuh Basyuni (mantan Menteri Agama) dan Abdurrahman Muhammad Fachir (mantan Wamenlu). Di garis perjuangan dan pendidikan ada KH Abu Bakar Ba’syir (pendiri Pondok Al-Mu’min Ngruki), Abdussalam Panji Gumilang (pimpinan Pondok al-Zaytun), dan yang lainnya.

Belum tokoh-tokoh lain yang menggeluti bermacam bidang dan dalam beragam strata kehidupan. Ini sekadar gambaran betapa beragamnya alumni Gontor. Semua itu merupakan efek pendidikan kebebasan yang ditanamkan di Gontor. Kebebasan memilih jalan hidup, kebebasan berpikir dan berbuat secara bertanggung jawab, yang semua itu dilakukan dalam bingkai norma dan ajaran Islam, dengan tujuan pengabdian dan menggapai ridlo Allah Swt. Wallahu a’lam.***

Lamongan, 26 Juni 2024

Penulis pernah belajar di Gontor tahun 1977-1990.

 

Ikuti tulisan menarik Agus Salim Syukran lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler